All About Anime

Penantian Terakhir (Repost)


Astrid Prihatini WD

Hujan deras mengguyur Solo, tepat saat taksi yang kutumpangi memasuki gerbang Bandara Adi Sumarmo. Sopir taksi yang sejak tadi mengajakku mengobrol, mulai mengaktifkan wiper untuk menghalau tempias hujan dari pandangannya, sebelum akhirnya taksi berhenti tepat di depan pintu masuk bandara. Aku pun melompat turun. Sementara sopir taksi membuka bagasi dan menurunkan koper mungilku.

”Matur nuwun (terima kasih), Pak,” ucapku, seraya menyerahkan lembaran dua puluh ribuan sebagai ongkos taksi. Sopir taksi itu mengucapkan terima kasih, sebelum menghilang dari hadapanku. Sesaat aku termenung, didera keraguan hebat. Benarkah keputusan yang kuambil ini? Aku bertanya dalam hati. Namun, bila ingat kilasan-kilasan peristiwa menyakitkan itu, rasanya tak ada yang salah dengan keputusanku ini. Tidak. Aku tidak mau kembali ke sana lagi. Aku ingin pergi membuka lembaran baru!

Aku masuk ke salah satu kafe, yang banyak tersebar di sepanjang bandara. Pelayan yang sedang mengelap meja, tersenyum ke arahku. Aku duduk dan memesan segelas susu cokelat hangat dan sandwich. Belum sampai lima menit, pesananku datang. Rasa pedih mendadak menyergap hatiku, mengingat semua yang kualami selama sepekan terakhir ini. Namun, buru-buru kutepis kilasan-kilasan peristiwa yang menyakitkan itu.

Di dalam pesawat, sekali lagi kutatap ujung landasan dan semua hal yang akan mengingatkanku pada kehidupan sebelum ini, untuk kali terakhir. Diam-diam rasa takut mulai menerkam, menggantikan kepedihan yang tadi sempat membuai jiwaku. Ketakutanku makin membesar mengingat kehidupan baru yang akan kujalani ke depan.

Ya, mungkin dalam satu hingga tiga jam ke depan, seluruh hidupku tak akan pernah sama lagi. Semuanya akan berubah. Sungguh aku takut, karena aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi dan apa yang akan menantiku di depan sana nanti. Diam-diam, aku pun berharap, semoga ada seseorang yang menelepon dan memintaku untuk membatalkan kepergianku ini.

Tapi, tidak. Tidak ada telepon seperti itu. Itu hanya ada dalam khayalanku. Bagaimana mungkin aku bisa mengharapkan Pras akan menghubungiku, bila ia memikirkanku saja tidak pernah? Toh, dia sudah berbahagia dengan wanita itu... siapa namanya? Ah, sudahlah.

Kukenakan sabuk pengaman. Pesawat mulai bergerak menyusuri landasan. Gerimis yang mengguyur sudah tak sederas tadi. Meski begitu, landasan masih terlihat basah. Makin lama makin cepat, hingga akhirnya pesawatku menukik naik, menembus angkasa.

Sesuai rencana, aku turun di Jakarta dan naik pesawat lagi menuju Sumatra. Setiba di Sumatra, aku akan dijemput Mas Rangga. Mas Rangga pula yang mengajakku bergabung dengan Yayasan Sahabat Alam yang dipimpinnya. Yayasan ini bergerak di bidang pelestarian satwa langka. Menurut Mas Rangga, pekerjaan ini cocok untukku. Maklumlah, selama ini dia mengenalku sebagai wartawan yang cukup peduli terhadap isu-isu lingkungan hidup.

”Kamu penyuka kucing bukan, Ni? Nah, inilah saatnya membuktikan rasa cintamu itu dengan mengabdi di sini, untuk menyelamatkan kucing-kucing di sini!” Begitu kata Mas Rangga.

”Ya, aku cinta kucing, Mas. Tapi, setahuku yang kau selamatkan itu bukan kucing! Tapi, macan!” balasku, sewot.
Begitulah, kubulatkan langkah untuk bergabung dengan Mas Rangga sebagai pelarianku. Sebetulnya, aku merasa ngeri dengan apa yang akan kulakukan di sana nanti. Bisakah aku bertahan hidup di sana nanti, setelah 28 tahun lebih kujalani hidupku dalam gelimang kemudahan fasilitas? Perjalanan Solo-Jakarta dan disambung Jakarta-Sumatra, berlangsung lancar tanpa kendala yang berarti.

Tiba di salah satu bandara perintis di Sumatra, aku mencari Mas Rangga. Tak kulihat sosoknya di ruang tunggu. Tak ada tulisan berisi namaku di deretan para penjemput. Aduh, bagaimana ini? Satu per satu penumpang yang sepesawat denganku mulai beringsut meninggalkan bandara. Ada yang pergi dengan rombongan penjemputnya atau naik ojek sendiri. Sementara aku masih celingukan seperti turis kesasar. Untung ini bukan Jakarta. Coba aku celingukan seperti ini di Jakarta, wah... bisa jadi mangsa empuk preman! Mungkin, nasibku akan sama tragisnya dengan TKI!

Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sebuah mobil besar yang warnanya sudah tak keruan, saking banyaknya lumpur yang melekat di badan mobil, berjalan terseok-seok. Mobil itu berjalan ke arahku dan ketika sudah tiba di depanku, seorang pria melompat turun. Tingginya kira-kira 175 cm dengan berat 65 kg dan berkulit sawo matang. Wajahnya lumayan manis sebetulnya, seandainya dia mau melepas kacamata hitamnya yang sudah ketinggalan zaman itu.

”Maaf, apakah Anda Kania?” tanyanya padaku.

”Ya,” kuanggukkan kepala.

”Mas Rangga tidak bisa menjemput. Ada keadaan darurat di markas. Jadi, dia menyuruh aku menjemputmu,” ia menjelaskan.

Oh, begitu. Ia sama sekali tak meminta maaf atas keterlambatannya, yang membuatku seperti turis kesasar selama 15 menit di pintu keluar bandara! Tanpa meminta persetujuanku, dia langsung meraih koper merah di tanganku. ”Yuk, berangkat. Kita masih harus menempuh dua jam perjalanan dari sini!” ujarnya, sambil memasukkan koperku ke tempat duduk belakang.

Aku pun naik dan duduk di sebelahnya. Ia langsung menyalakan mesin mobilnya. Dengan satu sentakan dahsyat mobil itu melompat ke depan... benar-benar melompat, sebelum akhirnya berjalan menyusuri jalanan di depannya. Ia sama sekali tak meminta maaf atas insiden barusan! Ugh! Benar-benar pengemudi yang tak kenal sopan santun dan tak tahu cara memperlakukan wanita rupanya! Apakah hidup sekian lama di belantara telah memupus nilai-nilai kesopanan dari perbendaharaan katanya?

Kami melewati daerah-daerah pedesaan. Pemandangannya sangat indah dengan banyak hamparan sawah, ladang diselingi pegunungan. Ya, seandainya dia mau sedikit saja mengerem laju mobilnya, agar aku bisa lebih leluasa menikmati lukisan. Sayangnya, dia mengemudi seperti kesetanan. Dia pikir jalanan ini sirkuit Monako apa? Lagi pula... hei, bisa-bisanya dia tidak memperkenalkan diri padaku! Huh! Benar-benar tak tahu sopan santun.

”Hei... bisakah kau menyetir dengan santai dan tidak ugal-ugal¬an seperti ini?” akhirnya keluar juga kekesalanku.

”Kenapa? Kau ingin menikmati pemandangan alam di sekitarmu? Kita bukan sedang piknik!” ujarnya, ketus.
Hah! Aku terbelalak menghadapi kekasarannya. Kenapa Mas Rangga mengutus sopir sebengis ini untuk menjemputku? Memangnya tak ada yang bisa bermanis-manis sedikit saja pada wanita?

”Aku tidak berkata begitu. Kau sendiri yang mengambil kesimpulan seperti itu! Maksudku, kita kan melewati jalan desa. Bagaimana bila tiba-tiba melintas anak penggembala sapi atau bebek atau ayam, misalnya? Padahal, kau melaju sekencang ini seolah sedang berpacu di sirkuit F-1!” ujarku, sedikit berteriak, mengatasi gaduhnya suara mesin dan kerikil-kerikil yang tergilas roda mobil.

”Yang seperti itu hanya ada di film-film!” tukasnya, keras kepala. Huh, dasar keras kepala! ”Atau... jangan-jangan kau takut mabuk, ya?” ujarnya tiba-tiba, sambil melirikku dengan tatapan yang sa–ngat merendahkan.

Apa? Mabuk? Mustahil. Seorang Kania tak mungkin mabuk! ”Aku ini wartawan, sudah terbiasa dengan medan dan cuaca tak bersahabat! Aku tak kenal kata mabuk darat, udara, maupun laut, tahu? Tubuhku sekuat banteng, asal kau tahu saja!” protesku, jengkel.

Dia malah tersenyum. Baru sekali ini dia tersenyum lepas padaku. ”Hei, jangan sebut-sebut namaku!” ujarnya, menahan senyum.

Kini ganti aku yang terkejut dan terpukul telak, lantaran tak bisa membalas kata-katanya. Tapi, dia tak berkata-kata lagi. Jadi, aku tak tahu di bagian mana aku telah menyebut namanya. Apakah namanya Mabuk? Atau berkonotasi dengan kata mabuk? Atau, jangan-jangan dia pemabuk? Ah... sudahlah, ngapain aku harus pusing-pusing memikirkan siapa nama makhluk sombong berhati dingin ini!

Di sebuah kedai, dia menghentikan mobilnya. Kupikir dia akan mengisi bensin. Tapi, sampai lama dia tak juga muncul. Masa membeli bensin saja selama ini? Jangan-jangan dia menimba sendiri dari kilang minyak di belakang kedai sana! Saat kekesalanku memuncak, tiba-tiba makhluk sok itu muncul dan berdiri tepat di dekatku.
”Ternyata, kamu benar-benar takut mabuk, ya, sampai memilih di mobil terus?” tanyanya, kejam.

”Hei, jangan menuduh sembarangan. Aku tidak takut mabuk! Aku tidak takut apa pun di dunia ini, tahu?” balasku, jengkel.

”Kalau begitu, kenapa kau tidak turun dari mobil dan ikut makan bersamaku di warung?” ujarnya, membuat kejengkelanku meluap tak terkendali. Sebagai wartawan, aku sering bertemu dan berhadapan dengan berbagai macam tingkah dan sifat manusia. Tapi, tidak ada yang semenjengkelkan makhluk sok di depanku ini!

”Tidak bisakah kau mengatakan padaku, kita mampir makan dulu di sini, sebelum melanjutkan perjalanan? Apa kau pikir aku ini Deddy Corbuzier yang jago membaca pikiran orang lain? Yang kau lakukan tadi hanyalah melompat turun dan masuk ke warung, setelah itu tidak keluar-keluar lagi. Jadi, bagaimana aku bisa tahu kau sedang makan atau menimba air di dalam sana?!” tukasku, dengan kemarahan tak terbendung.

”Ya, sudah, kalau begitu, ayo, turun dan makan dulu. Perjalanan kita masih jauh,” akhirnya ia mengalah dan berkata dengan suara lebih lembut. Tetapi, hatiku sudah telanjur jengkel oleh perlakuannya barusan.

”Aku tidak makan. Aku masih kenyang. Tadi di pesawat aku sudah makan,” kataku, didorong oleh harga diriku yang telah terluka. Sesaat kulihat ekspresi keterkejutan di kedua bola matanya. Dia sudah melepas kacamata hitamnya yang norak itu, sehingga bisa kulihat sepasang mata kecokelatan miliknya. Mata yang sangat indah, sebetulnya, asal dia bisa menghapus kesedihan itu dari sana. Benarkah dia sedih? Ah, kenapa aku jadi memikirkan dia?

Pagi hari aku terbangun oleh kicauan burung. Tubuhku masih terasa penat, setelah seharian kemarin menempuh perjalanan jauh dengan makhluk paling menyebalkan di dunia. Aku menempati sebuah kamar yang terletak tak jauh dari markas, sebutan untuk kantor. Aku tak tahu berapa luas keseluruhan tempat ini. Soalnya, kemarin aku belum sempat keliling.

Yang kutahu, di kompleks ini ada sebuah bangunan utama yang dipergunakan sebagai kantor dan ruang pertemuan. Di sayap kiri dan kanan ada bangunan tambahan yang berbentuk paviliun-paviliun. Ada yang dipergunakan sebagai tempat praktik dokter, ruang operasi, ruang pemulihan untuk memulihkan kondisi binatang-binatang yang sakit, dan kamar untuk karyawan pengelola tempat ini. Salah satunya adalah kamar yang kini kutempati. Aku beruntung, karena kamar yang kutempati terletak paling ujung, berbatasan langsung dengan pegunungan di latar belakang sana dan alam bebas.

Mas Rangga sedang duduk mengopi di ruang kerjanya, saat aku menemuinya. Aku sudah mandi dan menikmati sarapan yang kuambil sendiri di dapur. Di sini tak mengenal jam kerja. Setiap jam adalah bekerja. Karena, sewaktu-waktu ada saja binatang yang sakit dan membutuhkan pertolongan anak buah Mas Rangga.

”Bagaimana tidur semalam? Kuharap nyamuk-nyamuk hutan tak mengganggumu,” sapa Mas Rangga, begitu melihat kemunculanku.

”Enggak, kok, Mas. Aku tidur kayak orang mati semalam.”

Aku duduk di dekatnya. Tidak kulihat sosok makhluk menye–balkan itu. Di mana dia? Hei, kok, aku jadi penasaran padanya, ya? Ah, sudahlah. Buat apa memikirkan orang-orang yang membuat hati jengkel?

”Hari ini ngapain, Mas?” tanyaku. Aku tak terbiasa duduk diam, tak melakukan sesuatu.

”Kamu santai saja dulu, Ni. Apa mau lihat-lihat tempat penangkaran?” Mas Rangga menyahut dari balik palmtop-nya. Dia sedang asyik mengetik-ngetik sesuatu.

Tepat pada saat itu, seorang wanita masuk.

”Lin, kenalkan teman baru kita. Namanya Kania. Dia ini reporter sebuah harian ternama di Solo,” ujar Mas Rangga pada wanita itu. ”Ni, itu Linda. Dia bagian dapur dan logistik kita.”

Kami bersalaman. Lalu, dia berkata. ”Mas, hari ini logistik kita habis. Aku mau belanja.”

”Ni, kalau ingin kerjaan, ikutlah belanja ke desa bersama Linda!”

Aku pun melompat bangun dan mengekor Linda keluar dari kantor. Kami belanja dengan mempergunakan mobil kantor, sebuah pick up. Menurut Linda, mobil ini sangat praktis, karena dapat memuat banyak barang. Usai belanja, Linda mengajakku memasukkan barang-barang hasil buruan kami ke ruang pendingin. Setelah itu, dia membuat catatan di sebuah buku. Catatan itu berisi daftar barang belanjaan kami. Catatan itu nantinya akan di-input ke komputer dan dipergunakan untuk laporan pertanggungjawaban tiap bulan pada donatur.

Menurut Mas Rangga, yayasan yang dikelolanya mendapat dana dari tiga sumber. Semuanya dari negara-negara asing yang sangat peduli terhadap kelestarian satwa. Aku kadang-kadang gemas pada bangsaku sendiri, yang tak memiliki kepedulian terhadap satwa dan habitat satwa tersebut. Padahal, Tuhan sudah sangat bermurah hati menganugerahi Indonesia dengan flora dan fauna yang sangat unik, membuat negara-negara lain iri karenanya. Manusia yang diberi malah memanfaatkan seenaknya, tanpa pernah memikirkan apa dampak dari eksploitasi berlebihan tersebut terhadap kelang¬sungan hidup selanjutnya! Untunglah, ada orang-orang seperti Mas Rangga, Linda, dan makhluk menyebalkan itu. Kalau tidak, entah apa jadinya negeri ini.

Usai input data, aku diajak Mas Rangga ke penangkaran. Loka–sinya kurang lebih 200 meter dari kantor pusat. Kami berjalan kaki menembus alam yang masih sangat asri. Tempat yang diceritakan Mas Rangga itu ternyata berupa tempat terbuka dengan banyak kerangkeng. Hampir di semua kerangkeng ada penghuninya. Kebanyakan harimau benggala. Tetapi, ada juga satu dua burung elang, beruang madu, dan rusa.

Dari semua makhluk itu, hanya harimau yang menarik perhatianku. Dari dulu aku selalu beranggapan harimau adalah makhluk paling menakjubkan di muka bumi ini. Ada empat harimau di dalam kerangkeng-kerangkeng terpisah. Keempatnya mengaum penuh semangat, begitu melihat Mas Rangga.

”Halo, Cantik!” Mas Rangga dengan cuek mengelus kepala salah satu harimau. ”Ini namanya Cantik, Ni. Yang di sebelahnya itu Seto.”

Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Mas Rangga dan detik itu juga aku langsung jatuh hati melihatnya. Makhluk itu luar biasa mengagumkan. Dia berdiri tenang di kandangnya. Bulunya yang keemasan dengan loreng-loreng hitam terlihat berkilat di bawah sinar matahari pagi, sementara sepasang mata hitamnya menatapku tajam. Tiba-tiba ia membuka mulutnya lebar-lebar dan mengaum dengan suara keras sekali. Aku tersenyum melihatnya.

”Halo, Seto, semalam kurang tidur, ya?” sapaku pada makhluk menakjubkan itu.

”Bukan begitu caranya berinteraksi dengan harimau!” sebuah suara mengejutkanku. Ternyata, makhluk menyebalkan itu! Entah sejak kapan dia berdiri memerhatikanku. Tinggi menjulang dan terlihat angkuh dengan setelan jas putih dan sepatu bot. ”Kau bisa diterkam, kalau caramu seperti itu!” ujarnya lagi. Uh, apa pedulinya?
Aku bangkit. ”Kupikir dia lebih tahu sopan santun daripadamu, makhluk yang mengaku sebagai makhluk paling superior di muka bumi ini!” balasku, tak mau kalah.

Sesaat kulihat ada senyum geli di sudut-sudut bibirnya. Namun, secepat itu pula, bibirnya kembali mengatup angkuh. ”Aku serius,” ujarnya, dengan mimik sungguh-sungguh. ”Di alam liar, harimau merupakan makhluk alfa dan makhluk lainnya adalah makhluk beta. Karena itu, mereka menjadi santapan harimau. Nah, bila kau ingin berinteraksi dengan harimau, kau harus tunjukkan bahwa kaulah si makhluk alfa itu. Bukan dia!” dia menjelaskan panjang lebar.

Aduh... rumit amat! Kupikir, metode itu lebih tepat untuk meng¬hadapimu, bukan makhluk cantik ini. Kalimat itu nyaris meluncur dari mulutku, tapi kutahan. Selanjutnya, dia menerangkan tentang harimau.

“Di Indonesia ada dua spesies harimau, yaitu Panthera tigris sondaica atau lebih dikenal dengan nama harimau jawa, dan Panthera tigris sumatrae atau lebih dikenal sebagai harimau sumatra. Daerah persebaran mereka sesuai dengan namanya. Sayangnya, harimau jawa sekarang ini sudah punah. Jadi, spesies yang masih tersisa di alam sekarang ini tinggal harimau sumatra. Karena itu, kita harus menjaga kelestariannya supaya tak ikut punah seperti harimau jawa,” katanya, menerangkan, sementara aku hanya bisa mengangguk-angguk.

Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa pria ini sebenarnya? Mengapa dia begitu paham tentang seluk-beluk harimau? Begitu besarnya kepeduliannya terhadap makhluk-makhluk cantik ini. Namun, sebaliknya, dia sama sekali tak peduli terhadap makhluk bernama wanita!

”Hei, rupanya kau masih di sini! Wah, kalau sudah ngobrol soal harimau dengan Mahesa, memang bisa bikin lupa waktu, Ni!”

Mas Rangga tiba-tiba muncul dan menepuk bahuku. Aku tersenyum. Diam-diam senang, lantaran akhirnya aku tahu nama makh¬luk menyebalkan ini. Mahesa. Hmm... nama yang aneh. Kalau tidak salah, artinya banteng jantan. Pantas saja dia senyum-senyum waktu itu! ”Ahe, ada telepon buatmu dari Jakarta!” ujar Mas Rangga.

”Makasih, ya, Mas!” ujarnya dan bergegas menuju kantor.

Aku bertanya-tanya, siapa gerangan yang menelepon di siang bolong begini. Pasti mahal sekali. Hanya orang-orang istimewa yang mau melakukan hal sebodoh itu. Siapa? Kekasihnya? Ya, ampun! Kok, aku jadi memikirkannya, sih? Tidak. Bukankah aku sudah bersumpah akan melupakan semua jenis pria di bumi ini? Tidak, tidak ada cinta dan pria dalam hidupku!

”Kasihan Mahesa, tiap menit selalu dikontrol ayahnya. Untung hanya ayahnya. Seandainya kekasihnya ikut ngecek, aku yang pusing!” ujar Mas Rangga, seolah dapat menebak pikiranku. ”Yuk, ke ruang pemulihan, Ni. Kita lihat bagaimana kondisi Rimba. Rimba itu anak macan yang kami temukan nyaris mati, karena induknya mati dibunuh pemburu. Nanti Ahe biar menyusul ke sana,” kata Mas Rangga, seraya menggandeng tanganku.

”Memang dia itu siapa, sih, Mas?” tanyaku, tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku.

”Kamu belum berkenalan dengan dia? Ya, ampun, kupikir kalian sudah berkenalan. Dia itu dokter hewan yang bertugas di sini! Bukan karyawan tetap, sih. Dia senang di sini, karena tempat dan kesibukan di sini menjadi terapi baginya untuk melupakan masa lalunya yang pahit. Tunangannya meninggalkannya demi pria lain yang jauh lebih kaya,” kata Mas Rangga.

Oh... aku manggut-manggut. Jadi, dia dokter hewan? Jadi, dia pernah disakiti wanita? Pantas, dia sekasar itu!

Aku sedang memberikan susu pada Rimba, saat Koko berlari-lari masuk, seperti dikejar serombongan pemberontak bersenjata. Ni, kamu lihat Mahesa? tanyanya, dengan napas memburu.

”Tadi, sih, dari sini, memeriksa Rimba,” sahutku, cuek.

Susu di dot telah habis. Rimba, harimau sumatra jantan yang kini telah pulih berkat kasih sayang Mas Rangga dan teman-temannya, kumasukkan kembali ke kerangkengnya.

”Ada apa, sih?”

”Ada penangkapan lagi di pelabuhan.”

”Penangkapan apa? Bahasamu itu, kok, kriminal banget!”

”Maaf... kamu belum tahu, ya, istilah-istilah yang sering kami pakai!” kata Koko, sambil tertawa. ”Itu artinya, ada aksi penyelundup¬an binatang yang dilindungi, tapi berhasil digagalkan petugas! Pe–lakunya tertangkap dan sekarang menyisakan dua landak hutan di sana. Kamu mau ikut dan melihat seperti apa situasinya?”

”Boleh?”

”Boleh-boleh saja. Ayo.”

Koko menyeretku ke mobil. Dia menyetir seperti kesetanan. Di pelabuhan (bukan pelabuhan seperti Merak atau Tanjungmas, sebetulnya lebih tepat bila kusebut tempat penyeberangan), hewan yang berhasil disita telah dibawa ke kantor polisi setempat. Maka, kami pun melaju ke kantor polisi. Wah, seandainya aku masih jadi wartawan, tentu aku bisa mewartakan berita penangkapan ini! Adrenalinku kembali terpacu, seperti saat mengikuti penggrebek¬an lokalisasi yang dilakukan petugas.

Dua petugas polisi tersenyum ramah dan menepuk punggung Koko, saat kami tiba di kantor polisi. ”Di mana, Mas, sitaannya?” tanya Koko.

”Masuk saja, Mas. Pak Komandan tadi yang bawa!”

”Ada?”

”Ada, sedang menelepon di dalam. Masuk saja!”

Koko menyeretku masuk ke ruangan yang di pintunya terdapat papan nama bertuliskan ’Komandan’. Nama yang tercantum di situ membuatku terpaksa mengernyitkan kening. AKP M. Ardiansyah. Benarkah? Ah, tapi kan banyak orang yang namanya mirip! Aku berusaha menghibur diriku sendiri dan melangkah masuk. Saat itulah rasanya aku melihat makhluk itu!

Aku terpaku. Kalau nama mirip, bisa kumaklumi. Tapi, mungkinkah ada dua manusia di muka bumi ini yang serupa benar, padahal bukan kembarannya? Rasanya, tidak! Rasanya, yang kulihat di sana itu adalah hantu masa laluku, yang bangkit kembali dari kuburnya. Kapten Ardiansyah! Ya, bagaimana aku bisa lupa nama dan sosok itu? Rasanya, aku ingin kembali ke Solo. Bagaimana mungkin, di tempat yang kukira aman dari jeratan masa laluku ini, aku justru bertemu dengan pria yang sosoknya hingga kini belum bisa kuhapus sepenuhnya dari ingatanku!

”Hei, masuk, Ko!” katanya, tanpa mengangkat muka dari komputer di depannya. Dia belum melihat siapa makhluk di samping Koko!

Begitu Koko duduk, dia menoleh. Detik itu juga kurasakan seluruh waktu dan momen yang ada membeku. Hanya aku, dia, dan kilasan-kilasan masa lalu yang pernah terajut di antara kami berdua.

”Halo, apa kabar? Ternyata dunia tak selebar daun kelor, ya?” sapaku, berusaha riang.

”Baik. Kamu?” terbata dia menjawab sapaanku.

”Seperti yang kau lihat. Baik!” aku mengangguk.

Koko menatapku heran. ”Kalian sudah saling kenal?”

”Begitulah. Ketika masih di Semarang dulu,” kataku, sambil menjaga agar suaraku tak terdengar bergetar. Padahal, aku ingin sekali menangis! Tuhan... tolonglah aku!

Koko manggut-manggut. Selanjutnya, mereka terlibat dalam obrolan tentang binatang yang dilindungi itu dan proses pengembalian kembali ke habitat aslinya. Setelah itu, Koko pamit. Di mobil, aku lebih banyak diam. Koko pun mulai menggodaku.

”Wah, setelah ketemu Pak Ardiansyah, kok, jadi pendiam, sih?”

Aku tersenyum masam.

”Dia masih bujangan, Ni. Baru enam bulan bertugas di sini,” Koko menjelaskan, tanpa kuminta.

”Oh, ya?” dalam hati aku bertanya-tanya. Bujangan? Lalu, di mana wanita itu? Wanita yang telah menghancurkan impianku untuk dapat bersanding dengan pujaan hatiku? Wanita yang menurut Ardiansyah jauh lebih layak untuknya.

”Iya. Hei, sepertinya pernah terjadi sesuatu yang istimewa antara dirimu dan dia,” goda Koko lagi, menggugah lamunanku.

”Kami berteman. Sudah lama sekali,” ujarku, setengah merenung.

Ya, sudah lama sekali. Tujuh tahun yang lalu saat aku bertugas di Semarang dan dia masih anak kemarin sore yang tengah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Kepolisian. Anak kemarin sore yang membuatku jatuh hati dan membuaiku dengan cinta yang begitu memabukkan. Namun, kisahku tak berakhir bahagia seperti kisah Cinderella. Sakit memang. Dan, itu semua salahku, karena aku terlalu percaya padanya. Aku terlalu percaya bahwa mimpi yang kami bangun akan terlaksana suatu saat nanti. Tak tahunya, mimpi yang kubangun itu laksana istana di atas pasir yang langsung runtuh begitu tersapu ombak!

Kini, nasib mempertemukanku lagi dengannya. Waktu tujuh tahun ternyata tak mengubah penampilannya. Dia masih Ardi yang kukenal tujuh tahun lalu. Masih memesona, masih tinggi tegap, dan masih memiliki sepasang mata yang tenang menghanyutkan. Mata yang dulu sangat kupuja. Sampai sekarang pun masih tetap kupuja. Sampai kapan pun, aku tak akan bisa melupakannya dan menghapus sosoknya dari ingatanku.

Mungkin, mungkin akulah yang bodoh, karena tidak betul-betul bisa melupakannya! Mungkin, karena aku tak bisa sepenuhnya melupakan Ardi itulah, Pras berpaling dariku. Mungkin, Pras merasa tak sepenuh hati kucintai dan dia mencari cinta yang utuh dari wanita lain. Mungkin. Entahlah. Aku sendiri tak tahu apa penyebabnya.

Esok harinya, saat aku memberi makan Rimba, Mas Rangga berteriak memanggilku. Aku berlari-lari menjumpainya. Dia tak sendiri. Di sampingnya ada Ardi! Tampil tanpa seragam dinas¬nya, membuatnya terlihat lebih bersih, muda, dan mentereng. Sepertinya, dia tak cocok berada di tengah belantara seperti ini! Dia tersenyum dan menyapaku.

Mas Rangga diam-diam meninggalkan kami berdua. Aku tak tahu harus berkata apa. Entah kenapa, aku seperti orang yang tersihir. Mungkinkah, pertemuanku ini merupakan jawaban Tuhan atas doa-doa yang kupanjatkan tiap malam selama ini? Mungkinkah justru di pedalaman Sumatra ini aku menemukan sebentuk cinta sejati? Bagaimana bila cinta itu dibawa oleh seorang Ardiansyah? Bisakah aku memercayakan kembali hatiku padanya?

”Sibuk?” tanyanya lagi, memenggal habis lamunanku.

”Ya. Aku sedang memberi makan Rimba. Mau lihat?” akhirnya aku menemukan topik obrolan yang menyenangkan.
”Boleh.”

Sepertinya dia sudah tak asing lagi dengan tempat ini. Mungkin, dia sering kemari untuk mengecek binatang-binatang sitaan. Dia mengekorku seperti bebek. Aku baru ingat, hari ini hari Minggu, pantas saja dia tidak mengenakan seragam. Hmm... tinggal di pedalaman ternyata bisa membuat seseorang lupa pada kalender!

Di ruang pemulihan sudah ada Mahesa. Dia sedang membungkuk, memeriksa landak hutan, saat aku dan Ardi masuk. Dia mengangkat muka dan tersenyum. ”Pagi, Ndan! Tumben Minggu-Minggu sidak ke sini!” sapanya ramah, membuatku terheran-heran. Kenapa kemarin dia tak seramah itu padaku, ya?

”Iya, nih, sedang nggak ada kerjaan di rumah! Gimana landaknya?”

”Untungnya tidak apa-apa, Ndan. Cuma stres, karena terlalu lama berada di dalam kardus. Selebihnya, baik, kok,” Mahesa menerangkan, sambil sibuk melakukan ini-itu pada landak-landak itu.

Aku meneruskan kembali pekerjaanku yang tertunda. Rimba sekarang sudah lumayan jinak dan menurut padaku. Yah, namanya juga masih anak-anak! Paling mudah memang menaklukkan hati anak-anak, dan bukannya pria dewasa yang sangat memesona seperti makhluk di sampingku ini!

”Kamu di sini sedang undercover atau bagaimana?” tanya Ardi.

Tanpa kusadari, tinggal kami berdua di ruangan itu. ”Enggak. Aku memang bekerja di sini.”

”Kerja? Lalu, pekerjaanmu di Solo bagaimana?” tanyanya.

”Aku tinggal.”

”Pekerjaan seenak itu kaulepas begitu saja demi pekerjaan seperti ini?” tanyanya, setengah tak percaya.

”Kamu sendiri, ngapain di tempat seperti ini?” tanyaku.

”Nia, Nia... seperti tidak tahu saja. Aku ini abdi negara. Jadi, di mana pun aku ditempatkan, aku harus patuh!” ujarnya.

Hening. Aku kehabisan bahan bicara.

”Maafkan kekhilafanku di masa lalu, Ni. Aku menye¬sal. Tapi, aku benar-benar khilaf waktu itu!” ujarnya tiba-tiba, dengan suara lirih.

Aku tertegun. Hatiku tergerak untuk menanyakan nasib wanita itu. Namun, mulutku tak sampai hati menanyakannya. ”Aku sudah memaafkanmu dari dulu. Sudahlah, lupakan saja!” Hanya itu yang meluncur dari mulutku.

Dia diam. Kami saling bersitatap dalam keheningan. Dia masih seindah dulu. Makhluk yang kerap menghiasi mimpiku. Yang hanya bisa kurindukan bayangannya, tanpa bisa kudekap sosoknya. Sosok yang begitu kubenci, namun juga sangat kupuja. Oh, Tuhan! Kenapa hidupku bisa begini rumit? Mengapa aku harus mengenal seorang Ardiansyah? Apa maksud-Mu, Tuhan?

”Ehm, kau mau minum apa?” tanyaku, mengusir suasana canggung yang tiba-tiba menyergap kami berdua.

”Apa saja. Tapi, sebenarnya aku tidak haus, aku lapar. Dari tadi pagi belum sarapan. Kau mau menemaniku mencari sarapan?” tanya Ardiansyah.

”Kamu yakin di sini ada warung enak?”

”Hei, aku sudah enam bulan di sini. Jadi, aku tahu tempat-tempat jajan yang enak dan mengenyangkan. Mau ikut?”
Tawarannya itu kembali mengingatkanku pada kenangan tujuh tahun lalu. Kami berdua termasuk senang jajan. Tak meng¬herankan, tiada hari terlewat, tanpa berburu makanan enak dan murah di Simpang Lima, Jalan Pemuda.... Astaga! Kenapa aku jadi terbawa ke masa laluku?

”Baiklah,” aku mengangguk. ”Aku pamit pada Mas Rangga dulu. Oke?”

Ardiansyah mengangguk dan mengekorku ke kantor. Mas Rangga sedang duduk di balik meja kerjanya, mengetik-ngetik sesuatu. Dia mengangkat muka, saat kami masuk.

”Aku akan ke kota sebentar, cari makan. Mas Rangga mau ikut?”

”Enggak, deh. Aku sudah sarapan. Lagi pula, nanti malah mengganggu kalian berdua,” ia mengerling penuh arti pada sosok tinggi tegap di sampingku.

”Ya, sudah. Mau nitip sesuatu?”

”Tidak usah. Terima kasih. Ini hari liburmu, Ni. Silakan saja, kalau kau ingin pelesir ke kota sampai sore,” ujar Mas Rangga. Lalu, pada Ardi dia berkata, ”Dia bebas hari ini, Bang. Dia sepenuhnya milikmu. Tapi, tolong kembalikan padaku, kalau urus¬anmu dengannya sudah selesai. Oke?”

Ardi tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya penuh arti. ”Kami pergi dulu!” pamit Ardi.

Sepintas kulihat Mahesa yang sedang mencuci mobil, mengan¬tar kepergianku dengan tatapan aneh. Tapi, aku tak berani mengartikan tatapannya. Ah, peduli apa aku dengannya?

Sungguh aneh. Justru di saat aku berpikir, kecil kemungkinannya aku bertemu dengan Ardiansyah atau Pras di pedalaman ini, Tuhan malah mempertemukanku dengan Ardiansyah di sini, ribuan mil jauhnya dari Solo. Ya, setelah berpisah darinya, aku sudah kehilangan asa. Kupikir tak mungkin aku akan bertemu lagi dengannya. Jalan hidup kami sudah sangat berbeda.

Setelah peristiwa itu, aku memutuskan kembali ke Solo dan menata hidupku yang sempat porak-poranda oleh seorang Ardiansyah. Waktu itu adalah tahun terakhirnya di Akpol. Jadi, semestinya, setelah lulus, dia pasti ditugaskan ke suatu daerah. Tak dinyana, dia ada di sini!

Kini sosok Ardi hadir menggoda kembali. Hampir setiap saat dia muncul di kantor. Kadang-kadang membawakan makanan atau buah tangan, jika dia baru pulang dari Jakarta. Atau sekadar mampir dan ngobrol ngalor-ngidul denganku atau Mas Rangga.

Di akhir pekan, jika sedang tak ada kegiatan, dia menga¬jakku ke luar. Entah itu ke kota atau ke pulau-pulau yang bertebaran di sekitar daerah sini dengan perahu motor atau berburu durian di pedalaman. Banyak hal yang kami lakukan berdua, yang perlahan tapi pasti, mulai menghapus kenangan pahit itu dari hatiku.

Mungkinkah ini yang dimaksud dengan pepatah, bahwa cinta itu memaafkan? Benarkah? Ah, entahlah, aku tak tahu. Aku hanya seorang wanita naif, yang mencoba mencari makna cinta dan hidup.

”Tidak seharusnya engkau begitu baik seperti ini padaku,” ujarku, sambil membersihkan tanganku dari aroma durian yang sangat menyengat.

”Kenapa? Ada yang marah? Tunanganmu?” ia bertanya, sambil menoleh padaku.

Kugelengkan kepala. ”Bukan aku, tapi kamu. Aku dengar, dalam waktu dekat kau akan menikah...,” kalimatku belum usai, saat tiba-tiba tawanya menggema.

”Kau dengar dari siapa?” tanyanya, di akhir tawanya.

”Ya, pokoknya, aku dengar dari banyak orang. Sumber informasiku kan banyak!” dustaku.

Dia mencibir. ”Sumbermu tidak valid, tuh!” ledeknya. ”Sampai saat ini aku masih sendiri. Silakan geledah rumah dinasku dan isi dompetku sekalian! Jika kau berhasil menemukan foto seorang wanita, aku beri hadiah 100 juta, deh!” tantangnya.

“Masa, sih?”

”Ya, sudah, kalau kau tak percaya!” tukasnya. ”Yang jelas, aku belum punya pacar, Nia. Sejak aku putus dari Widuri tujuh tahun silam, aku belum menemukan tambatan hati yang sesuai!”

”Kenapa? Dia meninggalkanmu?”

Dia tersenyum kecut. ”Ya. Dia meninggalkanku demi sahabatku sendiri. Sekarang mereka sudah menikah dan hidup bahagia. Suaminya sekarang jadi pejabat di Mabes. Hebat, ’kan?” ujarnya, getir.

”Tak perlu menyesali nasib. Masing-masing orang sudah ada jalannya sendiri-sendiri. Percayalah, Tuhan selalu memilihkan yang terbaik untuk kita!” hiburku, sok filosofis.

”Tapi, percayakah kau bahwa Tuhan kadang-kadang memberi kita kesempatan kedua?” ujarnya.

Hatiku berdetak mendengarnya. ”Maksudmu?”

”Maksudku, takdir telah mempertemukan kita kembali. Mungkinkah, itu berarti, Tuhan memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku di masa lalu?”

Aku diam. Aku pun sama tak tahunya dengan dia. Aku tak ta-hu apa rencana Tuhan di balik pertemuanku kembali dengan Ardiansyah ini!

Hari telah gelap saat aku tiba di kantor. Aku segera mandi dan menyusul yang lain di kantor. Mereka semua sedang rapat. Mas Rangga tengah bicara dengan serius, saat aku masuk sambil menggumamkan permintaan maaf. Mas Rangga menyuruh¬ku segera bergabung dan duduk di sebelah Linda.

Mas Rangga menjelaskan sesuatu, sambil memperlihatkan gambar-gambar melalui OHP. Makhluk itu juga ada di sana, duduk di meja paling ujung. Kedua tangannya tersilang di depan dada, seperti orang menahan dingin, sementara matanya terarah ke OHP. Hmm... makhluk itu lumayan manis, seandainya dia mau sedikit, sedikit saja tersenyum, dan bersikap ramah kepada orang lain!

Linda menyodok sikuku. ”Ni, kita menghadapi masalah serius, nih,” ujarnya.

”Serius bagaimana?”

”Itu... illegal logging mulai merambah ke hutan kita. Padahal, kita jelas-jelas menjadikan hutan itu sebagai kawasan konservasi dan dilindungi. Tak seorang pun boleh menebang atau mengambil apa pun di kawasan tersebut. Tapi, rupanya, para pelaku itu tak mau tahu aturan seperti itu. Yang penting dapat uang!” kata Linda, tanpa dapat menyembunyikan kegeramannya.

Aku manggut-manggut. Di depan, Mas Rangga tengah berkata, ”Dulu, luas hutan konservasi kita lebih dari 10.000 hektar. Tapi sekarang, setidaknya berkurang 1% setiap bulan. Ini sangat memprihatinkan kita semua! Soalnya, kalau sudah tak ada hutan tersisa, bagaimana nasib binatang-binatang itu? Bagaimana kita bisa mengembalikan ke habitat aslinya, bila habitat aslinya telah rusak?”

Slide di depan menampilkan foto-foto dari udara kondisi hutan semula yang masih lebat dibandingkan dengan kondisi hutan yang kian menipis akibat praktik illegal logging. Beberapa kawasan terlihat gundul dan hanya menyisakan lingkungan yang rusak parah. Hanya terlihat tunggul-tunggul kayu yang mengenaskan.

Kuhela napas. Oh, Tuhan, tolong bukakan mata hati mereka pelaku illegal logging itu... supaya mereka sadar bahwa rupiah-rupiah yang mengalir masuk ke kantong mereka itu tak sebanding nilainya dengan bencana yang ditimbulkan oleh perbuat¬an mereka!

”Bencana besar menanti umat manusia, jika praktik tersebut tak segera dihentikan. Menurut laporan penduduk setempat, setiap kali turun hujan, sekarang daerah hilir sering dilanda banjir. Masih untung bukan banjir bandang. Bagaimana bila yang terjadi adalah banjir bandang, yang diakibatkan hilangnya pohon yang menahan aliran air? Bukan hanya manusia yang tersapu banjir, tetapi juga satwa-satwa langka yang dilindungi ikut hanyut terbawa air! Ini mengerikan sekali! Kehancuran ekosistem, berarti kehancuran bagi kehidupan manusia itu sendiri! Ini harus dicegah!” kata Mas Rangga, berapi-api.

”Kemarin saya sudah membentuk tim untuk menyelidiki cara kerja para pelaku illegal logging ini. Nah, saya ingin minta laporannya dari ketua tim. Bagaimana Mahesa?”
Semua mata tertuju padanya.

Makhluk itu berdehem, seperti orang penting.
”Ya, saya dan tim telah mengadakan penelitian intensif di lapangan. Sudah ada beberapa temuan. Pertama, beberapa waktu lalu kami sudah menelusuri dari mana kayu-kayu itu dihanyutkan dan ternyata memang berasal dari hutan kita. Kedua, kalau boleh saya umpamakan, cara kerja mereka itu mirip tikus pengerat alias cepat sekali. Soalnya, mereka mempergunakan gergaji mesin. Dan, sistem tebang yang digunakan bukan tebang pilih seperti anjuran pemerintah.”

Semua tercenung. Rapat hari itu memutuskan untuk mengadakan penyelidikan lagi dan aku ikut masuk ke dalam tim yang dipimpin Mahesa. Ah!

Matahari bersinar sangat terik, saat aku, Mahesa, dan Pudjo masuk ke perahu motor. Pudjo duduk di belakang, mengendalikan mesin, sementara aku dan Mahesa di depan mengawasi aliran sungai.

Perahu mulai bergerak. Suaranya sangat ribut, berpacu dengan kecipak air yang terbelah ujung perahu. Sungai mengalir tenang. Airnya berwarna kecokelatan, pertanda telah turun hujan di daerah pegunungan sana. Sesekali terlihat batang dan ranting-ranting kayu hanyut bersama aliran air. Kudengar Mahesa mendecakkan lidah, tiap kali melihat ranting-ranting hanyut itu. Dia kelihatan sangat jengkel.

Air sesekali terpercik ke mukaku. Memberiku kesegaran yang menyenangkan di bawah sengatan terik matahari ini. Air begitu dekat denganku. Tinggal kuulurkan tanganku ke bawah, maka aku bisa merasakan kesegarannya, yang serasa mengalir di setiap pori-pori tubuhku. Kuulurkan tangan dan membiarkan tanganku terseret aliran air.

Hmm... rasanya sangat menyenangkan! Seperti waktu kecilku dulu, saat bermain air di aliran banjir depan rumahku!

”Nia! Kamu ngapain? Kamu ke sini untuk kerja, bukan buat main air!” kata-kata Mahesa menyentakkanku ke alam nyata.

Ia melotot ke arahku. Heh, kenapa, sih, dia semarah itu? Aku kan hanya menyelupkan tanganku di dalam air! Apa itu salah?

”Iya, aku tahu! Kamu kenapa, sih, marah-marah seperti wanita mau datang bulan saja!” sergahku, tanpa dapat kucegah.

Dia tambah melotot padaku. ”Kamu... sejak pertama datang sampai detik ini, kerjamu hanya bermain-main saja. Pergi ke sana, kemari. Piknik. Membeli ini-itu. Heh, kau pikir sedang liburan apa di sini?” tukasnya galak, membuatku naik pitam.

”Aku tidak main-main. Aku bekerja seperti kamu dan Mas Rangga juga!”

“Kalau begitu tunjukkan, dong, profesionalitasmu!”

”Kamu...!” Aku nyaris mencekiknya.

Untunglah niatku itu tak sampai terlaksana, karena Pudjo tiba-tiba berteriak, ”Lihat itu ada kayu!”

Pertikaianku dengan Mahesa pun segera terhenti dan perhatian kami teralih ke arah yang ditunjuk Pudjo. Benar. Tak jauh dari kami ada berpuluh-puluh batang kayu dihanyutkan. Kami mengikuti kayu-kayu itu. Terus ke hilir. Di sana ternyata ada penyeberangan lagi. Jika dilihat dari darat, tidak kelihatan, karena tertutup pohon-pohon yang sangat rimbun. Tetapi, sebenarnya itu hanya kamuflase untuk menutupi aktivitas sebenarnya. Di situ teronggok ribuan kubik kayu yang siap diangkut!

Kami bertiga terpana. ”Ni, kayaknya kamu, deh, yang harus mencari tahu ke penduduk sekitar. Soalnya, wajahmu kan belum dihafalkan orang-orang sini! Benar kan, Ahe?” ujar Pudjo, seolah ia minta persetujuan Mahesa.

Yang ditanya hanya menjawab lirih, ”Hmm....”

”Tapi... bagaimana caranya? Gila apa kalian melepas wanita di lingkungan seperti itu?”

”Heh, kamu kan wartawan, kamu pasti mengenal teknik investigasi. Pakai akalmu, dong!” kali ini Mahesa menyahut, seolah mendapat angin dari pertanyaanku barusan.

”Aku tidak bertanya padamu!” sambarku, galak. ”Begini saja, kita balik saja ke kantor. Nanti kita cari informasi tentang perusahaan kayu yang ada di kota. Oke?” ujarku.

Kedua pria itu mengangguk setuju. Setelah itu, Pudjo mengantarku ke kantor kecamatan untuk mencari data yang kubutuhkan. Ada tiga perusahaan yang beroperasi di kawasan ini. Satu perusahaan mempunyai pemodal dari Jakarta, lainnya dari Jawa Timur dan Sumatra. Aku tidak heran. Soalnya, memang banyak perusahaan yang dikendalikan dari Jakarta seperti itu.

Yang harus kuselidiki adalah muatan dari perusahaan-perusahaan itu. Data ini harus didapat langsung dari mereka! Kuputuskan untuk memperoleh data-data itu hari ini juga, mumpung aku di kota. Begitulah. Bukan hal mudah. Tetapi, teknik yang kugunakan dalam investigating reporting cukup manjur.

Aku menyamar sebagai mahasiswi yang tengah membuat skripsi dan aku membutuhkan informasi dari perusahaan tersebut. Dua dari tiga perusahaan yang ada memberikan informasi dan data yang kubutuhkan. Yang satunya sengaja mempersulit dengan meminta surat keterangan dari universitas.

”Wah... yang satu ini lumayan sulit, Djo. Tapi, besok, kita coba cara lain. Oke?” ujarku pada Pudjo, yang setia menunggu di mobil.

”Tidak apa. Tapi, ngomong-ngomong, kamu hebat juga dalam sehari bisa mengumpulkan data sebanyak itu!”

”Hmm... aku kan mantan reporter, Djo! Jangan pernah lupa itu!”

”Wah... kalau hasil investigasimu ini kau tulis, bisa-bisa kau dapat hadiah Pulitzer nanti!” goda Pudjo.

Hari berikutnya aku tidak ke mana-mana, aku fokus meneliti data-data dari dua perusahaan kayu itu. Tidak ada yang janggal. Jumlah kayu yang mereka muat sesuai dengan izin dan tidak ada penambahan kuota dalam dua tiga tahun terakhir.

”Perusahaan kami sedang collapse. Terutama, sejak ada pemain baru itu. Katanya, sih, modalnya lebih kuat dan didukung oleh orang-orang penting di ibu kota. Lha, kalau saya? Zaman sekarang susah main kayu, kalau nggak punya dukungan kuat di belakang!” ujar karyawan salah satu perusahaan yang kemarin sempat kuwawancarai.
Menjelang siang, Sisil menepuk bahuku. ”Ni, sebetulnya kamu itu punya catatan kriminal apa, sih, sampai polisi mondar-mandir mencarimu terus?” ujarnya, sambil menggerakkan dagunya ke halaman depan.

Di sana kulihat Ardiansyah tengah ngobrol dengan Koko. Ya, ampun! Kumatikan komputer dan aku setengah terbang berlari mendapatkannya.

”Anak ini sedang belajar jadi pertapa, Bang. Dari kemarin nggak makan minum, nih,” ledek Koko.

”Ya, sudah, saya pinjam Kania dulu, ya, Ko,” kata Ardi pada Koko, yang membalasnya dengan lambaian tangan.

”Ni, aku ingin masak buat kamu. Bagaimana?” ujar Ardi, setelah kami berdua saja di mobil.

Rumah dinas Ardi kira-kira hanya sepuluh menit dari kantorku. Rumah yang ditempatinya sama seperti rumah-rumah penduduk pada umumnya. Tidak mewah dan berlebihan. Tidak ada yang mencirikan itu rumah pejabat penting di wilayah ini. Satu hal yang jelas, rumahnya tertata apik dan resik. Dengan cekatan dia mengeluarkan sayur-mayur dan bahan-bahan yang diperlukan dari lemari pendingin.

”Mau masak apa, sih?” tanyaku.

”Apa, ya? Aku cuma punya kubis, wortel, dan kembang kol.”

”Orak-arik saja. Cepat dan praktis. Soalnya, aku sudah lapar, nih.”

”Siap, Tuan Putri.” Ia memberikan hormat padaku.

Aku tersenyum, lalu membantu meracik sayuran dan bahan-bahan yang diperlukan. Tapi, aku membiarkan dia yang memasak itu semua. Aku hanya menonton. Ternyata, dia luwes juga di dapur. Jadi terlihat tambah seksi. Hmm... seandainya aku punya suami seksi dan jago memasak seperti ini, pasti aku betah di rumah, terus-menerus melihatnya memasak!

Bagaimana? ia minta pendapatku begitu masakannya matang.

”Enak!” kataku, mantap.

Dia menunduk dan menghadiahiku kecupan. ”Aku akan jadi kokimu terus, jika kau mau jadi istriku!” bisiknya.

”Ardi, ini saatnya makan dan bukan waktunya untuk merayu!” aku pura-pura marah, meski hati ini berdebar senang.

”Aku serius. Dua bulan lagi, aku ditarik lagi ke Jawa dan aku ingin menikah. Menikah dengan gadis Solo yang kukenal tujuh tahun lalu.”

”Widuri?” godaku.

”Dengan wanita yang kini berdiri di depanku!” ujarnya riang, sambil menatapku tajam.

Kurasakan pipiku memanas. Sungguh aku senang mendengar kalimat itu. Tapi, untuk menikah? Aduh, jangan sekarang. Hatiku masih porak-poranda.

”Beri aku waktu untuk menjawabnya. Oke?” aku memutuskan.

Sebagai jawabannya, dia mengangguk dan sekali lagi memberiku kecupan mesra di kening.

Penyelidikanku nyaris menemui jalan buntu, kalau saja aku tak mengenal seorang Ardi! Suatu siang, saat aku selesai berbelanja keperluan bulananku, seseorang menghampiri dan menyapaku.

”Mbak Nia... aduh, susahnya mencari Anda! Apa kabar, Mbak?” ujarnya ramah. Sangat ramah.

Ia pria setengah baya berperut sangat buncit. Aku ingat. Dia yang menerimaku di perusahaan kayu asal Jakarta itu. Salah satu karyawan di situ, yang dengan pongahnya berkata tidak bisa menerimaku, tanpa surat keterangan dari universitas. Kini dia sedang tersenyum manis padaku. Dunia sudah terbolak-balik rupanya.

”Kabar baik, Pak,” kataku, sambil mengangguk.

”Mbak, saya nggak enak, nih, pada Anda. Kalau Mbak Nia sejak dulu bilang bahwa Anda adalah calonnya Pak Ardi, tentu akan saya bantu sepenuhnya!” ujarnya.

Apakah sangkut pautnya Ardi dengan ini semua? Apakah Ardi menelepon pria ini? Rasanya, mustahil! Ardi tidak tahu proyek penelitianku.

Sebelum aku sempat berkata apa-apa dia sudah memberiku sege¬pok kertas. “Yah, saya rasa, seluruh penduduk desa ini sudah tahu siapa Mbak Nia. Sepertinya, hanya saya yang tak tahu! Maaf, ya, Mbak. Ini, data yang Mbak butuhkan. Semoga lekas selesai skripsinya. Dengar-dengar, Pak Ardi sudah tidak sabar ingin segera mempersunting Mbak Nia,” ucapnya, sambil tersenyum.

Setelah itu dia meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa terbe¬ngong-bengong, seperti orang yang tiba-tiba mendapat undian ratusan juta. Ardi? Apa peran Ardi di sini? Tapi, terserahlah! Yang penting, aku memperoleh apa yang kubutuhkan. Aku pun kembali ke kantor dan menelitinya sampai larut malam. Bingo! Ini yang kucari!

Kuserahkan data itu pada Mahesa, sambil berkata, ”Ini hasil kerjaku! Kalau kau anggap ini hanya main-main saja, terserah!”

Dia tampak terperanjat mendengar kata-kataku. Namun, aku tak peduli pada reaksinya. Dengan pongahnya kutinggalkan dia dengan setumpuk data dan ulasan yang kutulis.

Meski aku masih heran dengan insiden siang kemarin, aku tak hendak menanyakannya pada Ardi. Aku juga tak menceritakan kejadian itu. Sebaliknya, aku justru ingin tahu, ada apa di balik ini semua. Aku berniat mencari jawabannya di rumah dinas Ardi.

Di akhir pekan, Ardi biasanya mengajakku ke rumah dinasnya. Setelah makan siang, biasanya dia akan pergi ke kantor sebentar. Saat itulah aku beraksi. Aku masuk ke ruang kerja Ardi. Di situ ada berkas-berkas dan komputer. Aku memeriksa berkas-berkas itu, tidak ada apa-apa. Hanya laporan kejadian kriminal biasa.

Aku beralih ke komputernya. Aduh... ada password! Aku mencoba semua hal yang kuingat dari diri Ardi, yang bisa menjadi password. Aku memeras otakku. Pikirkan kata sandi yang sederhana! Ardi tidak mungkin membuat password yang sulit diingat! Lalu... pikir¬an itu tiba-tiba merayapiku dan membuatku merinding. Pelan, aku menuliskan panggilan kesayangannya padaku: Puteri. Dadaku berdegup kencang dan... ah! Aku menjerit senang saat tak muncul tulisan access denied di layar.

Jemariku bergetar menyusuri file demi file. Ugh, banyak sekali. Aku membaca cepat. Waktuku hanya 30 menit. Cepat! Aku gugup dan dihantui rasa bersalah, karena seumur hidup belum pernah aku membaca dokumen pribadi seseorang! Dan... ini dia!

Aku nyaris kena serangan jantung, ketika melihat data itu. Laporan truk-truk yang keluar-masuk membawa kayu dari tiga perusahaan. Kuambil flash disk yang sudah kupersiapkan dari kantor dan mengopi data-data itu. Nanti, nanti di kantor saja aku memeriksanya! Yang penting, aku dapat datanya dulu! Semua data yang kubutuhkan kukopi. Untungnya, aku bisa menyelesaikannya sebelum Ardi pulang.

Aku matikan komputer dan kuredakan deburan jantungku dengan segelas es sirup. Kunikmati minuman itu di beranda belakang, sambil menatap kebun dan jemuran pakaian Ardi. Kukompres dahiku dengan gelas yang terasa dingin, sambil berdoa semoga tak ada yang aneh dengan data itu.

Tak lama kemudian, kudengar deru mesin mobil Ardi memasuki halaman. Aku menunggu, sambil berpikir, siapa kamu sebenarnya, Ardi?

Malamnya, di kamarku, aku ngebut mempelajari data-data yang kuperoleh dari komputer Ardi dan mencocokkannya dengan data milik tiga perusahaan kayu yang beroperasi di sini. Angkanya cocok. Hanya satu perusahaan yang angkanya tidak cocok. Jumlah yang tercatat di komputer Ardi, jauh lebih banyak daripada jumlah yang tertera di laporan perusahaan itu.

Aku tertegun, mengapa ada selisih seperti ini? Mungkinkah Ardi keliru meng-input data? Kalau keliru memasukkan angka, tidak mungkin selisihnya sampai sebesar ini.

Oh, Tuhan, apa-apaan ini?

Saat aku membuka-buka buku laporan milik perusahaan dari Jakarta itu, sesuatu terjatuh. Kupungut perlahan. Ada beberapa lembar kuitansi. Ada tulisan yang membuatku makin tertegun: ’Telah diserahkan kepada AH.’

Keningku berkernyit. AH siapa? Ardiansyah? AH. Angka yang tertera membuatku geleng-geleng kepala. Ada tanggal dan tahunnya. Aku bisa melacaknya di rekening Ardi! Masalahnya, bisakah aku mencuri lihat buku tabungannya? Pasti bisa!

Aku kemudian memfotokopi kwitansi itu dan menyimpannya sendiri. Entah kenapa, untuk temuan baru ini aku enggan melaporkannya pada Mahesa. Berhari-hari aku mencoba mencuri lihat rekening tabungan Ardi. Jika dia pergi meninggalkanku sendirian di rumah, aku langsung beraksi, menggerataki seluruh isi rumahnya.

Rasa bersalah benar-benar menderaku kini, karena aku seperti mata-mata di sarang musuh. Aku manusia paling munafik di dunia. Di depan Ardi aku adalah kekasih yang baik, namun di belakangnya aku seperti musuh yang sewaktu-waktu siap menikamnya dengan pisau.

Perjuanganku tak sia-sia. Aku berhasil menemukan buku tabungan Ardi. Benda itu tersimpan di lemari pakaiannya, di antara tumpukan pakaiannya yang terlipat rapi. Hati-hati aku mengambil benda itu. Ada dua buah buku dari dua bank berbeda. Aku memeriksanya cepat.

Untuk yang satu ini aku sangat berterima kasih pada Tuhan, karena dikaruniai daya ingat yang luar biasa tajam. Sehingga, aku bisa ingat pasti tanggal-tanggal dan jumlah uang yang tertera di kuitansi. Tanggal dan jumlah itu tertera di buku tabungan Ardi!

Aku nyaris pingsan melihatnya. Apa-apaan ini? Uang apa ini? Kukembalikan buku itu ke tempatnya semula. Detik berikutnya aku mulai dikuasai kecurigaan, siapa sebenarnya Ardi? Mengapa aku masih saja belum bisa memercayainya? Mungkinkah instingku ini benar?

Hari ini sebetulnya aku berniat mengonfrontasi temuanku pada Ardiansyah. Namun, aku terpaksa membatalkan rencanaku, karena Mas Rangga mengajakku mengamati satwa di hutan. Aku, Mahesa, dan Mas Rangga yang berangkat. Inilah kali pertama aku mendapat tugas untuk mengamati perilaku satwa, yang telah dikembalikan ke alamnya. Ada rasa cemas sekaligus senang, saat aku naik ke mobil mengikuti jejak Mahesa dan Mas Rangga.

Kami membawa perbekalan untuk dua hari. Kata Mas Rangga, sekadar berjaga-jaga, bila kami terpaksa menginap di hutan. Kami berangkat naik mobil. Setelah itu, mobil itu kami tinggal di permukiman penduduk yang berbatasan dengan hutan dan kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki, menembus lebatnya pepohonan.

Mahesa berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan, aku di belakangnya, dan Mas Rangga di paling belakang. Kami semua menggendong ransel yang berisi bahan makanan, peralatan survival, dan bivak.

Sinar matahari terlihat menerobos di sela-sela pepohonan. Kicau burung dan bebunyian satwa hutan seolah menjadi musik yang menyambut kedatangan kami bertiga. Sejak di mobil, sampai berjalan menembus hutan, Mahesa tak banyak cakap. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun, kuperhatikan, akhir-akhir ini Mahesa memang lebih banyak berdiam diri. Bahkan, sekali waktu aku tak melihatnya sama sekali. Kata Mas Rangga, Mahesa sedang pulang ke Jakarta.

”Mahesa itu gila kerja, Ni. Di Jakarta dia punya klinik khusus hewan. Kalau sedang suntuk dengan suasana Jakarta, dia ke sini, mencurahkan waktu dan tenaganya untuk binatang-binatang langka di sini!” ujar Mas Rangga.

Aku hanya manggut-manggut, meski dalam hati makin bertanya-tanya tentang pria satu itu. Belum pernah aku melihat orang yang begitu mendedikasikan hidupnya untuk penyelamatan binatang-binatang langka. Sepertinya, kebahagiaan hidup yang dirasakannya tak diukur dari banyak sedikitnya materi. Sementara orang-orang seusianya tengah berlomba mengejar materi dan jabatan, demi memperoleh masa depan yang lebih gemilang, dia justru berkutat di pedalaman Sumatra ini tanpa mengharap imbalan apa pun.

”Kita berhenti di sini dulu, Ahe. Aku capek. Sepertinya, Bima dan Srikandi tak bakal masuk ke hutan lebih jauh lagi!” kata Mas Rangga.

Mahesa tak berkata apa-apa. Dia hanya mengulurkan botol air mineral yang sedari tadi digenggamnya. Setelah itu, dia pergi, entah apa yang dilakukannya.

”Mas, mungkinkah Bima dan Srikandi bisa hidup sesuai dengan naluri kehewanan mereka, setelah sekian lama menjadi peliharaan orang?” tanyaku, teringat nasib dua harimau Sumatra, yang kami lepas beberapa waktu lalu.

”Kita berharap begitu, Nia.”

”Kasihan binatang-binatang itu, Mas. Mereka sudah terbiasa jadi binatang peliharaan. Mau makan, ada yang memberi. Hidup aman dan nyaman di dalam kerangkeng, tak punya musuh sesama binatang buas. Apa jadinya bila mereka kita lepas ke alam liar, Mas? Bisa nggak mereka cari makan sendiri?”

”Kita kan sudah melatihnya, Nia. Kita sudah memberinya waktu untuk beradaptasi. Mudah-mudahan, bekal yang kita berikan cukup untuk membuat mereka bertahan hidup di alam liar!”

Mahesa kembali, sambil terengah-engah. ”Mereka di sana, Mas. Kira-kira 500 meter dari sini,” ujarnya.

”Yuk, kita ke sana,” kata Mas Rangga, sambil menarik tanganku.

Aku kembali berjalan, menginjak tanah lembek di bawah kakiku. Kuhilangkan perasaan jijik dan takutku. Toh, ada Mas Rangga dan Mahesa yang menemani. Kami berhenti di bawah sebuah pohon besar.

Mas Rangga menyuruhku naik. ”Ini namanya pohon pengamatan, Nia. Kami punya beberapa pohon seperti ini, agar bisa leluasa mengamati satwa,” ujarnya, menjelaskan.

Tak jauh dari pohon itu, ada aliran sungai. Menurut Mas Rangga, tempat paling ideal untuk mengamati satwa adalah di dekat aliran sungai. Soalnya, semua binatang pasti akan datang ke sungai itu untuk minum. Di atas pohon itu pun telah dibangun semacam rumah pohon.

Ketika tiba di rumah pohon, Mahesa dan Mas Rangga ternyata justru meluncur turun. Mereka berpamitan hendak menelusuri jejak harimau yang telah mereka lepaskan pekan lalu. Kuhela napas, dalam hati memaki mereka karena tak mengikutsertakan aku! Ugh! Ini pasti akal-akalan Mahesa!

Duduk diam, sungguh membosankan. Aku mulai mendengarkan suara-suara hutan. Suara siamang. Suara burung-burung. Suara desing yang aneh. Suara apa itu? Aku lebih menajamkan indra dengarku. Suara itu terdengar sayup-sayup, entah dari mana. Namun, aku hampir yakin bahwa suara yang kudengar itu adalah suara gergaji mesin. Aku nyaris terlonjak. Berarti, aku dekat sekali dengan tempat penebangan kayu ilegal itu. Astaga! Jika aku bisa menemukan sumber suara itu, maka aku akan menemukan lokasi tempat perampok-perampok hutan itu beraksi!

Dengan penuh semangat, tanpa memedulikan pesan dari Mas Rangga, aku meluncur turun dan mulai mencari sumber suara itu. Di mana? Suara itu hilang timbul. Aku terus berjalan, sambil menajamkan telingaku. Sampai pada suatu titik, suara itu tak lagi terdengar lamat-lamat. Jantungku berdebar kencang. Makin aku bergerak maju, suara itu terdengar makin jelas.

Itu dia! Aku berhasil menemukan lokasi penebangan pohon itu! Oh, untunglah aku tadi tak lupa membawa kamera digitalku! Di depanku, tepat di depan mataku, terpampang adegan persis di televisi, yang sudah ribuan kali kusaksikan. Dua pria sedang asyik menggergaji dengan chensaw. Mereka sama sekali tak menyadari kehadiranku. Aku sibuk memotret. Meski sadar bahwa aku tak mungkin menghasilkan foto dengan kualitas gambar memuaskan, aku terus memotret, sampai seseorang menoleh padaku dan berteriak, ”Hei, ada orang di sana!” Detik itu juga aku langsung sadar kehadiranku telah diketahui.

Kumasukkan kameraku ke dalam tas, lalu berlari secepat kakiku bisa melangkah. Lari tanpa tentu arah, yang penting selamat! Aku berlari dan terus berlari, tanpa menengok ke belakang. Aku tak tahu berapa orang yang mengejarku. Aku lari seperti kesetanan. Hanya dengan cara inilah aku bisa menyelamatkan nyawaku! Dadaku berdegup kencang seolah hendak meledak.

Tapi... ups! Kakiku tersangkut sebuah akar. Tanpa bisa dicegah lagi, aku terjatuh dengan menimbulkan suara yang sangat berisik, lantaran aku terjatuh di dedaunan kering, yang menjadi alas hutan. Aku mencoba bangkit, tapi... mereka lebih sigap.

”Nah, mau lari ke mana?” seseorang menangkap tanganku dan memaksaku berdiri.

Dua pria berwajah seperti preman menatapku. Aku tak kenal mereka. Kurasakan tubuhku sangat lemas saat mereka membawaku pergi, masuk ke areal yang tadi kulihat. Tak seperti dugaanku, wilayah itu sudah menyerupai permukiman. Ada beberapa bangunan dan sebuah kapal tertambat di tepi sungai. Aku dibawa masuk ke salah satu bangunan.

”Tunggulah di sini, biar bos kami yang mengambil sikap!” ujar seorang pria, sambil melemparku ke lantai kayu dan mengunci pintu. Gelap. Aku hanya dapat mendengar aktivitas penebangan di luar sana.

Waktu sedetik benar-benar terasa seperti setahun. Aku menunggu sampai terdengar langkah-langkah kaki mendekat dan gerendel kunci dibuka. Pintu berderit, menghadirkan seberkas cahaya dan sesosok tubuh. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, karena silau.

”Nia!” ujar sosok itu.

Suara itu sudah tak asing lagi di telingaku. Kukerjapkan mata berkali-kali, sampai mataku terbiasa dalam gelap dan bisa melihat sosok itu secara utuh. Tak ada yang lebih mengejutkan dari apa yang kulihat saat ini. Ardiansyah! Dia menarikku hingga berdiri dan mendudukkan aku di kursi.

”Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.

”Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kaulakukan di sini, Ardi?” ujarku, balik bertanya.
Mereka bilang, biar bos yang mengambil tindakan. Inikah bos mereka itu? Ardikah bos mereka?

”Aku sedang patroli....”

”Jangan bohong, Ardi! Kau pikir aku bodoh dan buta? Hanya polisi hutan yang berhak masuk ke wilayah ini. Wilayah kekuasaanmu ada di luar sana! Bukan hutan dan seisinya yang kaulindungi, tetapi masyarakat di luar sana!” selaku dengan nada sedikit naik.

Ardiansyah menatapku tak berkedip. Sebelum dia sempat berkata, aku sudah melanjutkan kembali, ”Kau pikir, aku tak tahu keterlibatanmu di sini? Aku tahu semua, Ardi. Aku tahu kau memperoleh bagian dari ini semua. Aku melihat semua pembayaran yang ditujukan padamu!”

”Kau tidak mengerti apa yang kau katakan, Nia,” ujarnya.

”Tidak mengerti bagaimana? Kau pikir aku hanya meracau? Aku punya bukti yang bisa menyeretmu ke pengadilan!” seruku, sambil berurai air mata.

”Kau pikir aku akan diam saja, membiarkan kau menyeretku ke pengadilan?” ia balas menggertak.

Ardi mendekatiku, berjongkok di depanku. Ia tersenyum lembut. Selembut belaian tangannya yang mengusap pipiku. ”Kalau kau diam dan melupakan peristiwa ini, aku pun akan diam, Nia. Aku akan melupakan semua ini. Toh, sebentar lagi kita menikah dan dua bulan lagi kita sudah meninggalkan pulau ini. Toh, hasilnya juga untuk kita berdua. Kita nikmati berdua. Bagaimana bila kita lupakan saja?” ujarnya.

Melupakan? Bagaimana mungkin aku bisa menutup mata atas apa yang dia lakukan ini? Padahal, perbuatannya ini jelas-jelas melanggar hukum. Dan... bagaimana mungkin aku bisa hidup dari hasil seperti ini? Tegakah aku menyuapkan nasi yang dibeli dengan rezeki haram ke mulut anakku? Bisakah aku berbahagia tinggal di istana megah dan naik mobil mewah, sementara masyarakat di sekitar hutan ini, entah setahun atau berapa tahun lagi, harus kehilangan rumah dan harta bendanya karena tanah longsor atau banjir bandang? Bisakah aku hidup di atas penderitaan ribuan penduduk desa ini?

”Tidak, Ardiansyah! Tidak akan ada pernikahan! Tidak akan ada kesempatan kedua untukmu! Waktumu telah habis. Aku tidak bisa menutup mata atas perbuatanmu ini!” ujarku, dengan nada sangat dingin, sampai aku sendiri pun bergidik mendengar suaraku.

”Aku masih percaya padamu, Nia. Aku masih memberimu waktu untuk berubah pikiran, Sayang.” Ia menatapku lembut.

Saat itulah ide itu melintas di benakku. Dengan sigap kuraih pis¬tol di pinggang kekasihku dan kutodongkan padanya. ”Ardiansyah, atas nama hukum, kuminta engkau mempertanggungjawabkan perbuatanmu di depan pengadilan!” ucapku, tajam.

Sesaat dia terpana melihat moncong pistol yang terarah ke dadanya itu. Mungkin, dia tak menduga aku bisa segesit itu mengambil pistol. Hanya sedetik kulihat kekagetan di matanya, detik berikutnya dia kembali menjadi Ardiansyah yang kejam dan kuat. Dengan gerakan yakin, dia berdiri. Aku ikut berdiri. Kami saling menghadap, bak dua koboi tengah duel maut.

”Kalau aku tidak mau, apa yang akan kaulakukan? Menembakku? Baik, tembaklah aku! Memang itu yang ingin kau lakukan dari dulu, bukan? Untuk membalas sakit hatimu? Ayo, tembaklah aku. Akhirilah hidupku! Tuntaskan sakit hatimu padaku!” tantang Ardi.

Aku tidak sebodoh itu. Aku tidak ingin terpancing. Lagi pula, aku tidak tahu bagaimana mempergunakan senjata ini. Tanpa mengucapkan apa-apa, aku bergerak perlahan mendekati pintu. Berusaha tetap menjaga pandanganku ke arah Ardiansyah. Pelan-pelan kubuka pintu.

”Aku tidak akan menembakmu, karena ada yang lebih berhak menjatuhkan hukuman padamu. Jadi, biarkan aku pergi dan menyerahkan bukti-bukti keterlibatanmu pada pihak yang berwenang,” ujarku, sambil pelan-pelan melangkah ke luar.

Ardiansyah masih menatapku. Tinggi dan tampan. Namun, kini, perasaanku kepadanya telah mati. Dengan perasaan terguncang, kutinggalkan bangunan itu. Dua pria berusaha menahanku, namun Ardiansyah berseru, ”Biarkan dia. Dia bersenjata!”

Tersaruk-saruk aku berjalan keluar dari areal tersebut. Aku benar-benar tak tahu arah. Kupikir, bila, toh, aku bisa selamat dari cengkeraman Ardiansyah, tetap saja aku tak mungkin kembali hidup-hidup ke permukiman penduduk. Aku tak tahu hutan ini. Aku pasti tersesat, sebelum akhirnya mati karena kelaparan dan kedinginan di hutan ini.
Oh, Tuhan, tolonglah aku.

Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Sampai tiba-tiba seseorang menarik tubuhku dan membekap mulutku dari belakang. Pistol Ardiansyah pun terjatuh dari tanganku.

”Kau pikir aku sebodoh itu membiarkanmu pergi?” bisik orang itu. Suara itu... suara Ardiansyah! ”Kau benar-benar keras kepala! Kenapa, sih, kau tidak menurut saja pada kemauanku?” bisiknya lagi di telingaku. Bekapan dan cengkeraman tangannya di mulut dan leherku benar-benar kuat, sampai kupikir, aku bisa mati karenanya.

”Anggukkan kepala, jika kau berubah pikiran, Nia!”

Kugelengkan kepala kuat-kuat. Sebagai balasannya, dia memperkuat cekikan di leherku. Aku tahu, dia akan menghabisi nyawaku. Mungkin, setelah itu dia akan menghanyutkan tubuhku di sungai. Sehingga, bila mayatku nanti ditemukan penduduk, mereka akan mengira aku mati karena tenggelam di sungai, bukan oleh ulah Ardiansyah! Oh, betapa kejamnya dia!

Dengan sisa-sisa kekuatanku, kuraih tubuhnya dan kuremas pangkal pahanya kuat-kuat. Berhasil! Dia menjerit dan pegangannya terlepas. Aku memperoleh waktu untuk lari. Lari! Lari, Nia! Aku terus berlari. Tapi, aku kalah cepat. Dia berhasil menangkapku, menarikku, dan menamparku. Menghujaniku dengan pukulan-pukulan dahsyat. Aku berusaha melawan sebisaku. Aku terjatuh oleh pukulannya.

”Tidak tahu diuntung!” dia terus mencaciku dan menyerangku.

”Kau yang tidak tahu diuntung! Aku menyesal telah mencintaimu, Ardi! Aku menyesal!” pekikku, dengan menahan sakit. Mulutku terasa asin. Kepalaku pening. Aku berusaha bangkit, namun sebuah pukulan menjatuhkanku lagi dan duniaku terasa gelap sesudahnya....

Saat kubuka mataku, sekelilingku kulihat putih. Apakah aku sudah berada di surga? Oh, syukurlah. Memang telah lama aku mengharapkan malaikat maut mencabut nyawaku. Kematian mungkin bisa mengakhiri seluruh penderitaan hidupku selama ini. Tetapi... aku tertegun. Kulihat seraut wajah yang sangat kukenal, tengah tersenyum padaku. Mungkinkah dia itu sebetulnya malaikat yang diutus Tuhan turun ke bumi? Bila benar begitu, maka dia adalah malaikat yang sangat tampan.

”Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” ujar Mahesa. ”Minum?” Ia mengulurkan segelas air putih.

Aku meminumnya sedikit, sekadar membasahi tenggorokanku yang terasa sangat kering.

”Tenang, semuanya sudah beres, kok. Ardiansyah telah ditangani petugas yang memang berwenang untuk itu,” ujarnya.

”Bag... bagaimana kau tahu?”

Mahesa tersenyum, lalu bercerita bahwa sebenarnya dia sudah lama mencurigai keterlibatan Ardiansyah dalam praktik illegal logging itu. Namun, dia belum punya cukup bukti untuk menyeret Ardiansyah, sampai aku datang memberinya setumpuk bukti.

”Dari situ, aku dan Mas Rangga merencanakan aksi untuk menangkap basah kegiatan mereka. Makanya, kami memutuskan untuk mengadakan pengamatan. Sebetulnya, kemarin itu bukan pengamatan satwa, Nia, tetapi pengamatan kegiatan mereka. Kami tahu, sewaktu kamu tertangkap dan Ardiansyah mengejarmu. Untunglah aku dan Mas Rangga sudah membagi tugas. Aku tetap berjaga di dalam hutan, sementara Mas Rangga melapor ke pihak berwajib. Dengan begitu, Ardiansyah dan komplotannya bisa segera diringkus,” ujarnya, panjang lebar.

”Jadi... kamu tahu? Kamu melihat semua?”

”Ya,” angguknya.

”Kenapa aku tidak diberi tahu tentang kegiatan hari itu? Seandainya aku tahu, aku pasti tidak akan diburu rasa penasaran sampai memutuskan melihat sendiri ke sana, bukan?” protesku.

”Maafkan aku, Nia. Aku yang salah, karena tidak memberi tahu. Aku tak menyangka, kau mendengar suara gergaji itu dan memutuskan untuk mencari arah suara itu. Kau betul-betul nekat!”

”Kalau aku tahu, aku tak akan senekat itu!” kilahku.

Mahesa tertawa. ”Baik, baik. Mulai detik ini, aku tak akan membiarkanmu berbuat senekat itu lagi. Aku akan selalu menjagamu untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau benar-benar gadis pemberani, cerdas, dan sama sekali tidak cengeng. Tak seperti dugaanku semula. Maafkan aku, karena aku sempat salah menilaimu. Maukah kau memberiku kesempatan untuk lebih mengenalmu?” ujarnya lagi. Kali ini sambil menatapku lembut.

Ada desir aneh di sudut-sudut hatiku saat bertatapan dengan sepasang mata cokelatnya yang sendu. Sepasang mata itu kini tak lagi menatapku sinis dan dingin, melainkan menawarkan sebentuk kedamaian yang selama ini kucari. Mungkinkah dia perhentian terakhirku? Hati kecilku sibuk bertanya. Kuharap begitu. Sebab, aku sudah terlalu lelah dalam pengembaraan ini.

Untukmu Aku Ada (Repost)


Cerita ini fiksi semua nama, pemeran, lokasi telah diubah namun tidak
mengurangi inti cerita, kesamaan nama, lokasi adalah kebetulan saja. Semoga cerita
ini bermanfaat untuk anda.
Editor "untukmu aku ada"


Preload
Namaku Daniel Beny Hartanto akrab dipanggil beny, kehidupanku cukup mapan,
dilingkungan sekitarku, aku seorang lelaki keturunan jawa, pada tahun 1999 dan saat
itu umurku sudah 18 tahun, aku lulus dari sekolah negeri di jogja, yang lumayan
favorit atau setidaknya masuk dalam peringkat 5 besar, lalu aku melanjutkan
sekolahku ke sebuah PTS di kawasan jogja timur, aku seorang tipe adventure yang
menyukai tantangan dunia bisnis , dimulailah sebuah pengalaman saat aku
memasuki awal kuliah, saat smu dulu aku tak berpacaran karena tak ada yang
cocok, dan menganggap pacaran hanya buang waktu dan kebebasan, aku lebih
menyukai keluar dengan seorang cewek siapapun yang aku suka tanpa ikatan
namun aku lebih sering keluar bersama teman-teman cowok untuk melakukan
aktifitas sebagai pria, dan saat masuk kuliah pertama kali merasakan bagaimana
rasanya aku benar-benar mencintai, dia seorang gadis cantik, manis, namun dia
seorang gadis keturunan tionghoa sebelumnya bahkan aku tak mengetahuinya. Aku
hanya orang yang tak suka mencari masalah, yah, pada saat itu banyak konflik
terjadi mengenai ke sukuan di negara ini, namun aku seorang tipe moderat aku tak
pernah membedakan dia dari irian, batak, timor atau bahkan cina sekalipun, yang
penting orang yang akan aku anggap sebagai teman harus orang yang baik.dan kalo
sudah suka aku ngak pernak perduliin apa pikiran orang, orang gaul bilang "bodo
amat" dan inilah awal rasa suka aku terhadap seorang gadis keturunan untuk
pertama dan terakhir kali di masa kuliah nama gadis itu Evelyn Susanto atau lebih
akrab dipanggil eve.
Cintaku Bersemi Untuk Eve.
Eve, gadis yang lucu dan menarik, lincah, dan takut akan Tuhan, aku mencintainya
atau aku menyukainya sejak saat aku ikut Mapram atau Ospek di Kampus PTS
kawasan babarsari, aku cukup "Jaim" yah biarpun aku suka aku hanya bisa liatin
doang tingkah lakunya yang lucu. Ah....aku menyukainya dalam hatiku berkecamuk.
Aku harus mencoba untuk mendekati. dan satu hal aku harus tahu dia belum punya
pacar, oh...my God. benar dia belum ada yang "punya".
Tuhan aku menyukainya, buatlah aku tambah menyukainya ungkapku dalam hati.
Yah tak ada jalan jika kita tak berusaha. Besok adalah Malam Terakhir Inisiasi Usai.
Saatnya Malam Inagurasi. Aku harus punya cara mengenalnya, oh please pusing
bener aku mikirinnya.
Malam itu tiba juga, aku berganti baju sesuai perintah kaos putih yang aku harus
kenakan. Kudekati kelompok Eve, dimana aku kenal salah satu anggota kelompok
itu, namanya yeni teman sekolah di SMU dulu.
Kudekati Yeni,
"Yen, please bantuin gw dong, u basa-basi kek..kenalin gw ma tuh cewek"
sambil menunjuk sembunyi-sembunyi Yeni paham dengan maksudku.
"Oh...Eve?",
"Yah tull" jawabku singkat
"Tapi kan dia chinese!" ungkap Yeni
"ah yang bener, sipit aja kagak, putih sih emang, so kalo chinnese trus kenapa?"
timpalku.
"Yah mending lo cari yang lain saja deh" yeni tambah ngotot.
"Emang napa seh Yen, mau nolongin gw gak?",
"Mau sih, tapi u mosok gak tau seh Chinese gak suka ma co jawa kayak lo, mereka
cuma suka ma co...pokoknya bukan tipe kayak lo lah....dia harus sama-sama
cinanya ben....",
"Gitu ya? mosok sih aku kok ngak tahu ya.." jawabku,
biarlah gimanapun setidaknya aku kenal aja gak papa, setengah hati aku udah
sedikit patah hati, namun akhirnya Yeni mau dengan rela walau gw paksa sedikit
ngenalin aku sama Eve
Akhirnya aku udah bisa kenal Eve aku cerita panjang lebar setelah perkenalan itu
terjadi, sok kenal sok deket lah, mumpung ada kesempatan,walau dalam hati aku
berpikir apakah benar ce chinese tidak suka sama wana (red=orang jawa/pribumi)
Itulah awal aku berteman dengannya, namun kubuang jauh rasa sukaku padanya,
sebab mungkin apa yang Yeni bilang benar, aku tak ingin patah hati walau ini
pertama kali aku patah hati karena suka dengan ce keturunan. Semoga tidak.
Kamulah gadis yang kutunggu selama ini.
Perasaan pertama waktu aku melihatnya aku merasakan ada hal yang berbeda,
ih..cakepnya tuh anak, or maybe this is a first sight ah..kubungan saja jauh-jauh.
apaan tuh first sight gw gak percaya .....Eve seorang gadis yang ramah, sederhana,
kenapa gw suka sama cewek kayak gitu. Padahal dulu aku suka sekali gadis yang
lincah dan kocak ‘n selalu bikin aku ketawa. yah mungkin karna kebencian dengan
mantanku yang kalem ternyata berbeda dengan hatinya. Yang ternyata gw ketipu.
dia ternyata gadis yang nakal ‘n gak pernah puas dengan pacar sebaik apapun. yah
dalam hati mau jadi apa dia besok....tapi sebaiknya aku tak perlu banyak
menghakimi dia, karna mungkin itu juga salahku.... Ah peduli amat yang penting
sekarang ada Eve, yah...Eve, aku memikirkannya terus. sejak perkenalanku
dengannya walau aku beda kelas aku suka sekali ketemu dengan dia pada sesi
tertentu yang memang waktunya bersamaan untuk matakuliah paket semester awal.
Kita ngobrol sambil jalan, n' walau gw naik mobil tapi aku nemenin dia jalan pulang
kekostnya yang tak begitu jauh dari kampus kita. Yah anggap aja Pdkt yang
bermanfaat buat olahraga juga. Hahaha..dalam hati aku seneng aja untuk nganterin
dia.
N. tiba saatnya waktu demi waktu berlalu aku ingin mengajaknya ngedate, yah real
date, bukan yang hanya sekedar makan malam bersamanya denga banyak
temannya juga. Wah tepat juga nich. besok adalah malam minggu yang pas sekali
dengan Ulang-tahunya. wah ternyata dia tak menolak untuk ngrayain ultah bareng
aku berdua, walau status kita just friends, entah mungkin ia takut kena semprot air
dan lemparan telor jika teman kostnya mengetahui ia akan ultah.
Hari itu saatnya tiba untuk menjemputnya, wah berdebar debar, dag dig dug, aku
melangkah kekostnya namun astaga! dia ngak ada. kecewa gubrak, kayak ketabrak
becak.....Pikiranku berkecamuk. Ah kenapa harus lagi..dan lagi...yah kalian mungkin
tak tahu kenapa aku berkata lagi..dan lagi...yah itulah pesan singkat dimana aku
lagi...lagi untuk terluka dan kecewa. Saat itu acara bubar sudah, saat itu masih jam 7
malam tepat aku berdiri dikostnya dengan kecewa. She gone without me? dia pergi
ngak tahu kemana. Aku mencoba menelpon Hp nya namun Cuma nada tidak aktif
yang kudengar. Aku langsung balik badan dan pergi ke mobil. Aku pergi dari tempat
itu dan pergi kerumah kost temen kuliahku. Yah aku yakin dia gak pergi. karna dia
juga jomblo kayak aku. Sesampainya aku ketempat temenku itu. aku rehat sejenak
dan diam saja tanpa omong apapun, yah berkecamuk pikiranku. Kenapa harus aku
lagi ya Tuhan. Kenapa terulang. Dosakah aku..?Dengan siapa. ratusan pertanyaan
aku lontarkan ke Tuhan. Dani temanku yang dari tadi entah omong apa aku tak
mendengarnya. dan akhirnya Paaak, Sialan dalam hatiku.
"eh kalo mau bengong ngapain lo kemari" ucap dani
“udahlah kita pergi aja disko kan ada tempat disko baru di hotel xxxx (red=edited)
katanya ceweknya cakep-cakep lho.”
"Mosok?" omongan sinis keluar dari mulutku dimana yang sejak tadi aku terdiam.
dalam hati aku berfikir mana ada cewek cakep anak baik-baik paling juga "ayam".
Akhirnya pergi juga kita ketempat itu. Walau harus dipaksa terlebih dahulu aku
akhirnya mau untuk pergi. Jam menunjukan pukul 01.00 Am ah tanpa terasa udah
pagi. Aku yang mabok saat itu udah gak ngurus lagi dengan keadaan sekitar.
Bahkan Sebuah Telepon dari Eve? Oh My God 15 Missed Call ada di Handphoneku
dan semuanya dari Eve. .....
Aku mencoba mengenalmu ben.
"aku tak sengaja berbuat menyakiti hatimu ben, kamu udah sangat baik sama aku,
aku menghargainya dengan sepenuh hati, maafkan aku ben, waktu itu aku tak
sempat menghubungi kamu, dan kamu juga tak dapat menghubungi aku. Hp ku saat
itu sedang low bat, papa mamaku dateng pagi hari dan lalu mengajakku untuk pergi
menemani mencari hotel dan seharian kita pergi bahkan aku tidak sempat untuk
pulang ke kost walau sebentar, mereka datang dari jauh untuk merayakan ulang
tahunku disini. karna mereka tahu aku tak dapat pulang karena sebentar lagi mid
semester, jadi mereka yang dateng, n' mereka nda ngasih tau soal kedatangan
mereka, mungkin mereka mau kasih kejutan ke aku, sekali lagi maafin aku ya ben.
Maaf mengecewakan kamu, tertanda Eve"
itulah isi surat Eve yang dititipkan temannya lusi untuk aku. Aku sebenarnya ngak
marah, yah kecewa mungkin tapi itulah kehidupan tak selamanya harus indah dan
sesuai dengan rencana.
Ah...aku bingung sekali.
Sebulan kemudian....Setelah menerima surat itu aku merasakan suatu perasaan,
apakah aku menyukainya? aku begitu cemburu jika ia tak memperhatikanku. saat ia
tak ada, saat ia tak mengangkat telpku. mungkingkah aku mencintainya? ataukah
sebatas suka? aku suka sekali menelponnya walau hanya untuk menanyai kabarnya.
sebab saat ini aku begitu sibuk, dan ia sibuk dengan rutinitasnya, sehingga
pertemuan yang dulu sering sudah mulai jarang dan bahkan dalam satu bulan ini aku
tak pernah ketemu dengannya dikampus. Yah mungkin besok saja sehabis pulang
kuliah sesi satu aku ke kostnya aku tahu hari itu ia tak ada kuliah. semoga ia ada di
kost besok. Keesokan harinya aku mengirim sebuah sms untuknya
"Eve, kamu di kost nda?"
dan selang beberapa menit Hp ku berbunyi
"Oh aku ada di tempat temen, tapi nanti jam 11 an aku dah di kost kok..mau dateng
ya? ya udah maen aja. lama ngak ketemu. daa.."
begitulah isi smsnya sebenarnya aku ingin menembaknya aku lelah penuh dengan
tanda tanya seperti ini, setidaknya kita sudah mengenal satu sama lain cukup lama,
setidaknya kita tahu sifat masing-masing. Diterima atau tidak peduli amat yang
penting aku udah mengutarakan uneg-unegku, sekarang aku ingin membeli kado
baru untuknya, yang waktu ultah kemarin aku belum sempat memberikannya,
mungkin dengan seikat 12 bunga mawar merah dan secarik kertas penembakanku,
lebih baik, mungkin aku cukup untuk mengucapkannya secara tertulis.
Misteri Cinta.
Soal penembakan yang aku lakukan aku penuh tanda tanya apakah dia mau
menerimaku? sedangkan aku bukan siapa-siapa, bukan cina sepertinya, tak memiliki
marga, tak berkulit putih, padahal sebenarnya aku tak peduli apakah dia cina atau
bukan, aku hanya menyukainya karna dia baik, dia sanggup ngerti aku, walau
sebagai teman, kecocokan lebih penting. Sekarang aku menjumpai gadis yang
menurutku cocok, aku sendiri ngk tau kenapa harus memilih dia, banyak pilihan
gadis lain yang cantik selain dia, namun aku begitu terpesona saat ia berbicara, dan
pikiran kita bisa sama.Selama ini ia bahkan tak menyinggung sedikitpun tentang
perbedaan suku kita. Ah..itu membuatku tambah berdebar-debar saja. Kalo sudah
suka beginilah akhirnya, semua hal yang dulu biasa, setiap detik, setiap tindakan aku
perhitungkan. aku sendiri pusing dibuatnya. Mungkin beginilah cinta, terkadang kita
dibuat buta olehnya. karna kepanikanku untuk menyukainya dengan
mengutarakannya pada Eve, aku hanya bisa sedikit berfilosofi andai dia menolakku.
bahwa
"cinta tak akan menjadi indah jika dalam kehidupan cinta itu sendiri tanpa
pengorbanan, Cinta bagaikan melihat bintang dilangit. kamu cukup melihat sinarnnya
dan tak perlu memilikinya untukmu sendiri."
walau mencintai adalah proses yang memusingkan namun kehilangan lebih
menyakitkan..
Aku tahu kamu.
"Apa ini ben?" tanya Eve padaku
"oh itu kado untuk hadiah ultah kamu, met ultah ya eve" jawabku
“oh, kenapa kamu harus repot begini, ‘n apa ni? pake bunga segala? wah bikin malu
kamu nanti anak-anak kost yang lain bilang apaan?”
dan eve melanjutkan membuka sampul surat dan membaca isinya
"untuk Eve selama ultah yang ke 21 ya, aku tahu ultah kamu udah lewat tapi gpp
kan. :) hehehe, eve udah lama aku punya perasaan beda waktu aku jalan
bersamamu sebagai teman, aku merasakan kalo aku suka sama kamu, aku harap
aku mengutarakan ini tak membuatmu marah. aku ingin kamu menjadi pacarku.
tertanda beny."
itulah isi kartuku untuk Eve, Eve terdiam sesaat dan akhirnya
"wait, aku tahu kok jawabanmu, sudahlah aku tahu apa yang ingin kamu ucapkan"
saat aku melihat raut wajahnya aku mencoba mendahuluinya untuk berkata
demikian, karna aku tahu ia pasti akan menolakku, begitulah pertimbangan
terburukku.
"emang kamu tahu apa ben? lha wong aku belum omong ya mbek kamu!”
“sebenarnya aku tahu kamu suka sama aku, aku merasakannya, tingkahmu beda
akhir-akhir ini, kamu sering terlihat gugup waktu bersamaku tak seperti dulu waktu
kita baru ketemu, mungkin kamu punya perasaan suka sama aku yang membuatmu
gugup.untuk memberi jawaban suratmu ini aku ingin memikirkannya dulu, sebaiknya
kita tak usah ketemu dulu beberapa hari, aku akan mempertimbangkannya, kamu
mau kan ben?"
ungkap Eve saat ia telah membaca suratku yang tertaut pada seikat bunga mawar
itu.
"ya..terserah kamu wis.."
dengan tersenyum aku mengucapkannya, agar suasana tak sesunyi ini padahal
hiruk pikuk anak kost lain bersautan di telingaku namun aku merasakan begitu sunyi
waktu aku bersamanya. aku melanjutkan basa-basiku menanyakan keadaannya
selama ini. dan akhirnya aku berpamitan pulang dengan seribu alasan yang aku
karang. karna aku sendiri sudah penat dan kehabisan akal, inginnya aku
bersamanya hingga larut malam namun saat itu sudah pukul 3 sore saatnya aku
untuk melakukan rutinitas olahragaku, setelah sedikit pemanasan yah mungkin aku
pergi renang saja, agar kepalaku yang panas ini sedikit sejuk
"eve balik sek ya.....aku tunggu jawabanmu"
ucapku, sambil berdiri aku berjalan kearah pintu pagar kostnya,
"hati..hati ya ben..tak usah kamu pikirkan dulu apa yang terjadi nanti, aku akan
memberikan jawabanku. lewat sms bagaimana?"
lanjut eve saat berada berdekatan denganku di pintu pagar kostnya,
"never mind, terserah kamu deh...daa..Eve" ucapku sambil berlalu menuju sepeda
motor yang kuparkir didepan kostnya dan aku berlalu segera .
Masa lalu telah berbeda.
Setelah 8 hari, saat ini hari sabtu jam 11 siang, tiba-tiba melody pesan masuk hpku
berbunyi. Ternyata dari eve, setelah lebih dari seminggu lamanya aku menunggu dia
mengirim sms, ku tekan tombol baca, dan
"ben, nanti malem ke kostku ya, jam 7.00 malam aku tunggu ya. sampe nanti"
itulah bunyi smsnya, ah aku harus gimana Eve tak tahu kalo saat ini aku sedang
berada di surabaya dan baru saja aku sampai di surabaya jumat kemarin untuk
urusan bisnis retail handphoneku apakah aku harus memberitahunya kalo aku tak
berada di jogja. ah untuk apa aku memberitahunya
"oke aku kesana nanti malam" aku balas smsnya.
Segera aku menelpon agen travel langgananku aku memesan tiket pesawat yang
ada pada hari itu, dan syukurlah masih ada seat kosong untukku, karna aku tahu hari
itu weekend pasti seat pesawat penuh sedangkan aku harus segera ke jogja, tak
pikir panjang aku segera berangkat ke bandara. untuk naik penerbangan jurusan
jogja jam 3 sore. aku perkirakan sampai jogja sebelum jam 5 sore aku bisa sedikit
mempersiapkan keadaanku agar tidak terlihat gembel. dalam hatiku berdegup
kencang beginilah kalo mencintai seseorang, apapun yang ia katakan pasti
membuatmu berdebar, apalagi yang kamu cintai belum benar menjadi kekasihmu.
sialan...dalam hati kenapa penerbangan ini terasa agak lama tak seperti biasanya,
sepertinya pesawat ini hanya memutar beberapa kali di atas jogja. aku mencoba
menanyakan kenapa begitu kepada awak kabin. katanya jogja sedang hujan lebat,
disertai angin kencang tapi menurut informasi bandara sesaat lagi angin kencang
akan segera berkurang dan pesawat dapat mendarat. Dengan cemas aku berharap
semoga angin ribut itu tak akan membuat hatiku juga ikut ribut karna tak dapat
memenuhi permintaan Eve untuk aku datang, begitulah sebuah perasaan yang
begitu bergemuruh bahkan melebihi gemuruh guntur hujan lebat. akhirnya untung
pesawat yang aku tumpangi dapat segera mendarat, tidak harus mendarat ke
bandara lainnya karna pertimbangan keselamatan. Jam 17.50 sampai juga aku di
rumah. pukul 7 tepat aku sampai di depan kostnya, dan kutelp dia bahwa aku di luar
kostnya sekarang. sesaat kemudian dia keluar dengan berpakaian sederhana
berkaos dan ber celana kain entah para cewek menyebutnya apa, tapi dia begitu
manis dan cantik saat itu, itulah yang aku pikir seorang gadi cina yang sederhana,
aku memang menyukai gadis yang sederhana seperti itu tak harus begitu modis dan
tampil sangat beda seperti gadis metro yang masih meminta uang saku ke ortunya
namun berlagak seperti orang bisnis,
"hai ben, kelihatanya kamu lelah?",
"ah engak papa kurang tidur aja",
aku berbohong padanya untuk pertama kali aku takut ia justru marah kalo aku baru
saja dari surabaya dan datang untuknya pasti dia bilang "bodoh amat sih kamu , lain
kali kan bisa" hahaha dalam hati mana tahan untuk ngak ketemu kamu untuk
beberapa lama lagi, Eve mempersilahkan aku masuk ke ruang tamu kostnya, saat itu
kostnya sepi, entah pada kemana nenek sihir yang lainnya, hahaha itulah sebutan
untuk anak kost yang cerewet dan omong kenceng di kost kayak rumahnya aja
teriak-teriak, sudahlah itu bukan urusanku, sebab begitulah jamanya sekarang.Eve
bercerita basa-basi sesaat dan kemudian,
“ben, soal surat kamu nembak aku itu serius nda?",
"emang kamu kira aku nda serius pa enak aja, hahaha" dengan renyah aku
menjawabnya, ia sedikit senyum
"baiklah, walau kita berbeda kamu bukan cina sepertiku, tapi kamu tak seperti cowok
kebanyakan, kau ngak item, kamu baik, dan kamu seiman denganku, dan yang jelas
cukup banyak aku tahu tentangmu, aku mau kok....jadi pacarmu, asal kamu mau
ngertiin aku",
'bener eve?????" begitu banyak tanda tanya responku untuk akhir ucapan Eve itu.
dalam hati aku berkata ngak rugi aku cepet dateng ke jogja untuk mendengar
jawaban itu.
Mulailah hal yang baru.
Setelah kejadian itu hubungan kami berjalan dengan baik, aku merasakan hal yang
berbeda dengannya, seorang gadis cina yang berbeda, mungkin rasa memilikilah
yang membuatnya begitu,memang benar cinta tak akan menjadi indah jika dalam
kehidupan cinta itu sendiri tanpa pengorbanan.aku tahu ia mengorbankan pikiran
omongan orang mengenai hubungan kita, namun kita bahagia, sebab aku sadar
tidak banyak gadis cina yang memiliki nilai lebih kecantikan kepandaian dan rasa
humor seperti dirinya memilihku sebagai pacarnya, yah mungkin inilah awal hal yang
baru. kita memiliki banyak kecocokan selain suka jalan-jalan atau bisa disebut
sebagai piknik berdua, kami selalu membagi kesedihan dan kesusahan kita tanpa
beban dan kecanggungan, mungkin karna kita sudah cukup dewasa mengenal satu
sama lain, walau ada juga sedikit kerikil menghadang jalan kita, aku dan Eve suka
sekali berbagi bahasa aku yang fasih berbahasa jawa dan dia yang tahu banyak
bahasa mandarin namun tak begitu fasih, setidaknya ia mampu menterjemahkan
dalam bahasa indonesia kalimat-kalimat mandarin, banyak cerita menarik mengenai
proses pertukaran bahasa kami dan saat ini aku paling suka berkata "Wo ai ni Eve"
Apakah kita cocok?
Saat ini bulan 11 tahun 2002 kira-kira sudah hampir dua tahun lebih kami bersama,
saatnya aku untuk mengenal lebih keluarga Eve, mereka tinggal di Jakarta aku
sendiri kurang tahu banyak alamat rumahnya sedikit tak masuk akal tapi begitulah
aku hanya mengetahui sebatas nomor telpon rumahnya saja dan itu juga aku
pergunakan jika aku ingin menelpon dia waktu dia pulang ke jakarta waktu liburan
natal atau paskah.
"Besok libur sisipan kamu pulang eve?" tanyaku pada Eve
"Ya..knapa"
"aku nganterin kamu ke pulang boleh ngak? aku pingin tahu rumahmu.dan
keluargamu"
"boleh..knapa ngak.."
"kalo ortumu liat aku nti kaget gimana? aku kan bukan tenglang (red=cina)"
"ngak papa kok, ortuku juga kayak kamu mau menerima perbedaan" "kalo gitu kita
beli tiket kreta apinya sekarang yuk, sekalian kita pergi beli oleh-oleh lah ala
kadarnya, mending kamu ganti baju n kita pergi sekarang"
"oke deh, kamu tunggu bentar ya" Eve kemudian masuk kekamar kostnya dan
berganti pakaian, saat itu memang masih pagi, yang namanya anak kost pasti masih
pake baju tidur walau mereka udah mandi. yah begitulah kesukaan mereka kalo
ngak ada aktifitas. setelah selesai berganti pakaian kita kestasiun Tugu untuk
membeli tiket dan membeli oleh-oleh
"kita beliin oleh-oleh apa eve"
"mungkin ini saja..." Eve menunjuk bakpia yang masih hangat , kita memang pergi ke
pabrik kuenya langsung buka ketokonya jadi masih terasa hangat, hum...pasti enak
fresh from oven..
"minta di bungkus 2 lusin aja ya bu...aku rasa segini cukup kan han? " tanyaku pada
Eve
"Cukup lah buat apa banyak-banyak nanti ngak kemakan lagi" keesokan harinya
aku pergi ke kostnya Eve naik motor, motornya aku tinggal di kostnya Eve dan
kemudian kami pergi naik Taksi untuk kestasiun, dalam perjalanan di kereta kami
bercanda dan banyak bercerita, walau dalam hati aku deg..deg an..baru ini aku
ketemu keluarga dan bergabung dalam sebuah keluarga cina, wah kayak apa ya
bentuknya...
Ben apakah kamu mencitaiku?
"ben.."
tersentak aku kaget dari lamunanku karna hanny berkata sambi memukul lenganku,
"ngelamunin apa kamu, dipanggil dari tadi bengong aja"
"oh gak papa"
"gak usah boong, kamu kayaknya punya pikiran, kamu ceritain deh, daripada kamu
simpen sendiri, nanti jadi batu tau rasa lo"
"hahaha jadi batu dimana, otak ini udah penuh karna mikirin kamu, mau ditaruh
disebelah mana batunya nanti"
"ih..."
aku dicubit oleh Eve di perutku uhh pedes juga, kayak makan sambel plus tabokan
orang sekampung. hahaa terlalu hiperbola,
"aku bingung nanti aku harus gimana kalo dah ketemu keluargamu, koko kamu, n
keluargamu yang lain"
“nanti kalo mereka nanya banyak-banyak ke aku mau jawab apa. trus mereka
damprat aku, ih..sereem"
"ah kamu bisa aja ben, emang keluargaku tukang damprat orang, kamu harus berani
dong menerima apapun akibatnya nanti lagian mereka sudah tahu kalo pacarku
wana buktinya sudah lebih dari dua tahun kita bersama ngak pernah ada masalah
bukan, jika kamu mencintaiku kamu harus mencintaiku apa adanya termasuk kamu
juga mencintai keluargaku sebagai bagian dari diriku"
"ih..puitisnya..., aduh"
karna merasa diledek untuk kedua kali hanny mencubitku di sasaran yang sama,
wah kali ini lebih pedes. memang benar apapun yang terjadi nanti mau ngak mau
pasti akan aku hadapi juga kelak
Mama, Papa dan seluruh keluargamu menerimaku.
mereka sungguh baik.
Siang hari kita sampai juga di Jakarta masih jam 14.00 saat itu, sebelum pergi
kerumahnya kami mampir dulu kesebuah hotel untuk memesan kamar, hotel yang
tak begitu bagus namun lumayan. aku tinggal barang-barangku di hotel dan
kemudian kami pergi naik becak kerumahnya yang terletak disebuah jalan besar
Jakarta timur. aku tahu keluarganya memiliki bisnis bahan bangunan, jadi aku tak
perlu kaget gimana bentuknya. sesampainya aku dirumahnya ia memperkenalkan
aku pada mama nya karna saat itu hanya ada mamanya yang dirumah untuk jaga
toko, mamanya ramah, dan sangat baik, bahkan saat ia melihat aku wana dia
bahkan tak mempermasalahkan cukup lama aku berbincang dengan mamanya, dan
genap sudah kemudian, saat sore menjelang aku diperkenalkan dengan keluarganya
yang lain, dengan papanya, cici sepupu, koko dan seluruh keluarganya. dalam hati
aku bersyukur aku tak merasa berada ditempat yang salah dan waktu yang salah,
jam sudah menunjukan 17:45 aku berpamitan pada Eve dan semua keluarganya,
aku beralasan capek dan mau istirahat. padahal aku takut ditanya lebih banyak, hal
yang tak dapat aku jawab. karna ada sebagian keluarganya yang belum tahu aku
wana, aku cuma merasa canggung jika di bedakan.
Eve, mengapa temanmu berbeda denganmu.
Keesokan harinya aku pergi kerumah Eve, saat itu jam 08.05 aku sampai
dirumahnya Lumayan juga kalo jalan kaki kerumahnya dari hotel yang aku inapi 15
menit baru sampai. sat itu tokonya belum buka aku mencoba mencari bel pintu, wah
sialan, mana nih bel pintunya udah rumah gak ada jendelanya bel pintunya gak ada
lagi. Daripada pusing-pusing aku telp aja ke Hpnya Eve.
"Halo..eve, aku didepan rumahmu nih..."
“oh ya tunggu ya....”
lalu pintu toko itu terbuka perlahan, krriit..bunyi pintu dorong yang berderit.
"pagi amat" tanya Eve
"emang napa, aku dah laper ni.?"
"iyah..bentar aku mandi dulu, kamu masuk dulu gih, nanti aku ajakin ke tempat yang
asik n favoritku di sini, okay ben?"
entah kenapa rumahnya sepi saat itu mungkin masih pada tidur tapi mungkin mereka
ada dibelakang, rumahnya panjang dan besar di bagian belakang, mungkin mirip
rumah temanku waktu SD dulu didepan kecil namun dibelakangnya luas dan lebar
bahkan tingkat 4. dimana kalo dilihat dari luar pasti orang heran karna ngak kelihatan
kalo tingkat 4. tapi tentang rumah Eve aku belum sempat melihantya keseluruhan.
setelah beberapa menit aku menunggu Eve keluar dan sudah berpakaian dan
memakai helm
”ben..kamu keluarin motornya dong nih kuncinya...yuk ke garasi" aku dan Eve
melangkah menuju garasi yang berada disisi tokonya. aneh dari depan aku tak
mengira ini garasi bahkan warnanyapun dan garis pembatas temboknya bahkan
beda seperti tidak bergabung dengan tokonya. aneh dan unik, dalam hati aku kagum
kenapa di buat kayak gitu. lalu kita pergi berboncengan pergi ke warung yang
menjual makanan favoritnya, hari itu aku ingin seperti eve, makan dan minum apa
yang eve sukai. wah rame bener. Dan memang rasanya beda, kulihat penjualnya
dari riau jarang aku makan masakan riau. Setelah kita kenyang Eve mengajak
bermain ketempat temannya yang saat itu juga pulang liburan temannya kuliah di
bandung setelah panjang lebar ngobrol aku merasa sepertinya pandangannya
terhadapku sedikit sinis dan menyimpan ketidaksukaan, yah memang sebagai cewek
keturunan dia bahkan lebih cantik dibandingkan Eve pacarku namun aku tak menilai
orang hanya dari kecantikannya. Sebab belum kenal siapa aku dan gimana aku dia
saja sudah melihat aku bagaikan musuh. Aku memang memaklumi karna banyak
masalah terjadi waktu aku kelas 2 dulu atau di tahun 1998 banyak kerusuhan terjadi
tapi apa semua itu dilakukan semua orang? mengapa pukul rata, karna itu aku
bangga dengan Eve, dia mampu membedakan dan memahami dengan benar
persoalan itu. Akhirnya setelah dua hari berada disana aku pulang dengan naik
travel sendiri tanpa Eve karena libur masih 12 hari lagi.
Kita berpisah hanya karena perbedaan.
Pada suatu ketika, saat aku mengenalkan evelyn kepada orang tuaku ia berharap
mereka juga dapat menerima dia walau dia seorang gadis cina, namun diluar dugaan
orang tuaku tak menyetujui evelyn menjadi pacarku, padahal tinggal selangkah lagi
aku ingin bertunangan dengannya.
"Apakah kamu gadis cina?"
"Ya tante."
"Maaf bukan om mau menyakiti perasaan kamu, tapi om rasa kamu ngak perlu
melakukan hubungan terlalu jauh dengan beny, beny sudah om jodohkan dengan
seorang gadis dari bandung, dia seorang pribumi, selain itu juga kenapa gadis cina
seperti kamu mau bersama dengan orang pribumi, apa orang tuamu tak melarang?"
"pa..ma....apa apaan ini, menghubungkan orang suka kok dengan suku, rasa segala
ah, kan jamannya sekarang udah modern. gak mutu banget sih!, Beny udah di
jodohin? ah mosok, lha dari dulu kok ndak ngomong, kenapa baru sekaran? paling
ini akal-akalan mama sama papa!"
sela beny di tengah percakapan."
"Beny...apa-apaan kamu menuduh mama dan papa main akal-akalan memangnya
untung papa mama apa?"
"Ah beny tahu mama dan papa gara-gara pernah kecewa berbisini dengan orang
keturunan cina soal kayu dulu, papa dibohongin dan akhirnya modal papa lenyap
karna dibawa lari bukan!, tapi apa trus lalu membenci orang keturunan cina?"
"Ben, anterin aku pulang ke kost ya. Sekarang!"
ungkap eve setengah berbisik pada beny
"Kamu jangan sakit hati ya eve. Mereka memang masih kolot"
mereka lantas meninggalkan papa dan mama beny menuju mobil yang berada di
luar rumah. didalam mobil eve cuma terdiam walau beny menanyakan banyak hal
kepada eve, sepertinya eve benar-benar kecewa dengan kedua orang tua beny,
beny kawatir itu akan merusak hubungan mereka yang sudah dua tahun terjalin
dengan baik. dengan tersentak mobil berhenti di tepi jalan 1 km sebelum kost eve
berada.
"Eve. kamu kenapa! dari tadi diam saja?"
beny memandang wajah eve yang sepertinya menangis namun tertutup oleh rambut
halus panjangnya yang telihat basah di bagian ujungnya.
"ben, aku ngak nyangka kalo ortumu ngak setuju kayak gini, aku pikir dari pada kita
jalan tapi membuat kamu bertengkar dengan keluarga itu nda baik ben"
"tapi aku sayang kamu eve, kamu tahu sendiri aku kayak gimana to? , selama aku
suka aku pasti tetap mempertahankannya"
"tapi ben, kata emak dulu waktu aku kecil, walau bagaimanapun aku harus
menghormati orang tuaku walau mereka tak mengerti apa yang aku rasakan dan aku
anggap benar, bagiku mereka lebih tahu kebutuhan kita."
mobil mulai berjalan perlahan dan akhirnya perbincangan panjang selama di jalan
terhenti. karena mereka sudah sampai di depan kost sambil membuka pintu eve
berkata
"maaf ben, mungkin sebaiknya kita sampai disini saja jika kita sering ketemu kita
akan semakin sulit untuk berpisah, jaga diri baik-baik ya, awas pulang jangan ngebut
ya. aku tahu kalo kamu lagi marah kamu pasti suka ngebut. suatu saat jika kita jodoh
pasti kita ketemu lagi. kamu percaya itu juga kan ben, sebab kamulah yang
mengatakannya padaku"
eve kemudian bergegas masuk dengan berlari kecil kedalam kostnya. dan hilang di
balik pagar yang tinggi tempat kostnya.
Kalau sudah jalan untuk apa menambah
kekhawatiran dalam hidup.
Kurang lebih satu tahun mereka berpisah namun mereka sesekali masih saling
telepon atau ber sms an. Setelah akhirnya saatnya mereka wisuda. mereka wisuda
di bulan yang berbeda eve lebih dahulu wisudanya. dan ia kembali ke Jakarta. untuk
sementara membantu orang tuannya di toko milik mereka. eve memang tidak segera
mencari pekerjaan karena sejak perpisahan itu eve yang memiliki keturunan penyakit
jantung dari kedua orang tua nya, mulai nampak. Beny yang memang sejak kuliah
memiliki bisnis retail aksesoris, dealer handphone sebuah perusahaan yang berada
di surabaya disibukkan dengan membuka beberapa cabang baru di beberapa kota,
dan pada akhirnya
"Halo, eve-nya ada? ini beny"
"Wah ben sebaiknya kamu jangan menelpon eve lagi. Dia sudah bisa benar-benar
melupakan kamu" sepertinya suara mama eve.
"apakah benar? aku tahu eve masih ingat aku dan care ama aku, eve pasti masih
sayang sama aku, please tolong tante tolong, aku benar-benar kangen dengan eve"
"Maaf ben, tante ngak bisa" tut.tut..tut telpon ditutup tanpa membiarkan beny
menyelesaikan ucapannya. Dengan segera beny yang kehabisan akal untuk
menelpon eve namun tak dapat karna bahkan nomer hp eve tak pernah aktif, beny
segera pergi ke Jakarta dengan naik penerbangan paling awal keesokan harinya.
Beny tak mengetahui bahwa hari itu juga Eve memiliki rencana untuk terbang ke
swiss menemui pamannya yang membuka restoran cina disana. Karena restoran
pamannya sedang mengalami kesulitan pembukuan keuangan dan Eve memang
memiliki keahlian itu.
Beny dan Eve yang tanpa sadar berada dalam tempat dan waktu yang bersamaan di
airport. diluar kesadaran mereka sebenarnya mereka di eskalator yang sama. Eve
yang sebenarnya berniat untuk memberitahukan bahwa ia akan pergi jauh kepada
beny dan itu adalah kesempatan terakhir untuk mengatakan salam perpisahan,
mengurungkan niatnya saat koko angkat eve melarangnya untuk menghubungi beny
karna itu tidak baik bagi eve yang notabene keturunan penyakit jantung.
Diluar kesadaran mereka ditempat dan saat yang sama dan beny yang sudah begitu
kangen dengan Eve bergegas pergi ke rumah eve dengan tergesa-gesa. Dan
sesampainya di rumah eve.
"Apa Eve ada om?"
"Halo ben, maaf eve sudah pergi" sembari merapikan barang dagangan di toko itu,
beny kembali bertanya.
"Pergi? kemana om. keluar kota? ato ke mall? atau kemana?"
"Eve pergi jauh, ia pergi keluar negeri, sekitar 45 menit yang lalu ia baru pergi" jawab
papa eve yang tak mengatar eve kebandara karena harus jaga toko.
"Kemana om? boleh saya tau? untuk berapa lama?"
"Ke Swiss ke tempat pamannya.om nda tau untuk berapa lama itu tergantung eve
sendiri yang menentukan, karna dia sendiri yang menginginkan"
"Ke swiss?"
bagaikan tertiup angin kencang menderu menghantam dada, beny terdiam dan
terduduk diam.
"sudahlah ben, biarkan eve pergi dengan tenang"
papa eve yang sibuk melayani tamu membiarkan beny terduduk lama di depan
tokonya dan tak mengetahui kemana dia pergi, bahkan tanpa pamit.
setelah 8 bulan berlalu...
Beny yang saat itu sedang membuka outletnya di bandung, mencoba koneksi
jaringan internet untuk mengawasai billing outletnya secara online. Beny yang isengiseng
sembari melakukan beberapa konfigurasi pada komputer outletnya, untuk
masuk dalam dunia chat pada sebuah messenger terkemuka yahoo, yah beny
memang selain lulusan sarjana ekonomi ia menguasai dengan baik sistem teknologi
walau tak ada gelar sarjana komputer yang ia sandang ia pandai karna kemauan dan
pelajaran autodidaknya yang baik.. "Wah udah lama juga gak chat dengan orang lain
ni, ah daripada bengong main bentar dulu ngak masalah" gumam beny dalam hati.
Setelah klik sana-klik sini muncul nickname baru yang baru saja online di channel
tempat dia mangkal. Ce_purple itulah nick yang ia lihat. Setelah panjang lebar
mereka saling chat dengan asyik mereka ngobrol dan bicarain apapun yang mereka
anggap menarik, bahkan mereka sampai lupa untuk memperkenalkan jati diri
mereka. akhirnya mereka tersadar setelah 2 jam lamanya mereka keasikan ngobrol
ce_purple memberikan emailnya agar pertemanan mereka tetap berlanjut
ce_purple@yahoo.com si gadis memberikan alamat emailnya. dan begitupula beny
memberikan emailnya kepada gadis itu.
Hari itu sabtu tanggal 2 beny yang tiap bulannya harus mengumpulkan data dari
beberapa outletnya dalam melakukan pembukuan. setelah berkutat dengan
pekerjaannya selama 3 jam, yah..maklum dia memiliki banyak outlet dengan
berbagai kendala masing-masing terjadi pada outlet miliknya, karna itu jaringan
internet yang ia miliki bahkan harus online selama hampir 18 jam tiap harinya. Dan
sebuah pesan kecil muncul bahwa ia mendapat email baru. Dan ia membukanya
email itu dari ce_purple yang pernah dia ajak chat bulan lalu. "Hai kemana aja
selama ini, kamu jarang online, kadang aku berharap aku menemukan nick lucumu
itu sedang online, tapi sepertinya kamu begitu sibuk. Selamat paskah ya..maaf kalo
aku telat menyampaikannya. karena aku juga sibuk mempersiapkan perayaan
paskah di kapel kecil ditempatku. Salam damai, GBU" itulah isi email yang ce_purple
kirim untuk beny. Dan beny akhirnya saling berkirim email dan terus membalasnya.
setelah 3 bulan lamanya mereka saling akrab saling kirim email satu sama lain dan
tibalah pada suatu waktu mereka berniat untuk saling menukar foto mereka. Dan
Biip. "You Have A New Mail" begiutlah Email Messenger Favorit Beny mengeluarkan
kata-katanya. Beny yang bersemangat penuh dengan penasarannya untuk melihat
foto gadis yang yang menurutnya sangat cocok dengan dirinya terkaget ternyata
ce_purple itu adalah eve..yah eve..mantan pacarnya yang dulu menjadi bagian dari
hidup terindahnya entah beny begitu senang atau terkejut dia termenung untuk
beberapa saat "Tuhan apakah ini hanya kebetulan saja atau inilah kejaiban yang
kuharap selama ini untuk..." ia lalu tersadar bahwa email itu baru saja masuk
kealamat emailnya dengan segera ia mengirim pesan singkat buat gadis itu.
"Apakah kamu Eve? Aku beny. Selama ini aku mencarimu, Ya Tuhan aku begitu
kangen dengan kamu, nyalakan webcam kamu eve aku tahu kamu masih ada
disana"
eve tersentak kaget teryata pria yang dianggapnya baik selama ini dan menjadi
teman cybernya adalah beny. Kekasih yang masih ia cintai. walau telah berpisah
lebih dari satu tahun ia merasakan bahwa dia telah berpisah dengan beny begitu
lama. Eve langsung menyalakan webcam yang ada dan mereka saling pandang satu
sama lain melalui layar monitor. Mereka saling tertegun, mereka melepas kangen
mereka. Dan eve menceritakan bahwa ia tak berniat untuk meninggalkan Indonesia.
namun karena pamannya membutuhkan kemampuannya untuk membantu restoran
yang ia miliki. Beny menceritakan bahwa satu jam sebelum eve pergi ia mencari eve
untuk mengabari bahwa orang tua beny mau mengalah dan menerima eve sebagai
calon menantu mereka namun sayang eve terlanjur pergi keluar negeri dan tanpa
kabar dimana ia berada.Dan mereka melanjutkan pembicaraan mereka.
Eve yang begitu gembira menerima kabar itu berniat untuk kembali ke Inndonesia
untuk bertemu dengan beny, selain atas bujukan beny agar eve mau meluangkan
waktu untuk kembali ke indonesia. dan pada akhirnya satu minggu eve mengatakan
bahwa eve hendak pulang ke indonesia esok hari tepatnya 4 Mei 2003. Eve
mengabari keluarganya di di Indonesia dan kepada beny bahwa ia akan pulang.
Tibalah keesokan hari di semua headline surat kabar tanggal 5 mei 2003, serta
berita pada semua stasiun televisi. mengatakan bahwa penerbangan dengan nomor
yang eve naiki telah dibajak teroris dan meledak di udara sebelum mendarat untuk
transit di singapore. Tersentak semua orang yang menunggu eve kembali ke
indonesia termasuk beny. terpukul dan shock berat. Kebahagiaan untuk kembali
bertemu dengan eve hancur sudah.
Beny yang sudah berada dijakarta dan bersiap menjemput eve pada waktu
kedatangan penerbangan eve, benar-benar terpukul atas kejadian itu. Semalaman
mereka dibuat sibuk untuk mempersiapkan proses pemakamam jika jenasah eve
telah ditemukan walau kesimpulannya imposible dapat ditemukan. Mereka berdoa,
memanggil kerabat mereka, Bahkan seorang Pendeta sudah mempersiapkan doadoanya
dan proses perayaan untuk kemudian dibagikan kepada seluruh kerabat
yang datang. Namun ajaiblah karya dan rencana Tuhan ditengah tangisan kesedihan
di rumah eve tanggal 6 Mei 2003, 20:08 Wib telpon rumah mereka berdering,
Memecahkan suasana hening malam itu.
"Halo, disini kediaman keluarga sutanto, mau cari siapa?" sahut penerima telp
"Halo, cici ya...liat Tivi gak cik?" cici atau kakak perempuan eve terbengong, tak
mengerti apa maksud pembicaraan penelpon itu. cici eve yang terhanyut dengan
suasana bahkan tak tahu kalo yang menelpon adalah eve.
"Ini eve cik, eve sehat-sehat saja kok, yang diberita itu buka eve, eve masih hidup
dan masih di swiss, karena tiket terlanjur dibeli eve memberikannya pada teman eve
yang mau pulang ke Indonesia, paman kena serangan jantung jadi eve belum
sempat mengabari rumah kalo eve ngak jadi balik ke indonesia karena paman
serangan jantungnya larut malam dan eve sibuk mempersiapkan kebutuhan di
rumah sakit. Eve bahkan terkejut melihat berita di televisi waktu eve menjagai
paman"
"apakah kamu benar eve...hik. hik.."
dengan sesenggukan kakak perempuan eve masih belum percaya. namun akhirnya
setelah pembicaraan beberapa saat. akhirnya cici eve berlari ke arah mami nya,
"Mi..eve masih hidup dan sekarang masih di swiss"
"apa maksudmu?" tanya mami eve terheran, setelah di ceritakan kepada semua,
suasana haru berubah menjadi doa syukur atas keselamatan dan berkat yang
diberikan kepada keluarga mereka dan khususnya kepada eve bagian tercinta
keluarga mereka. Beny yang semula shock begitu gelisah dan akhirnya ia
menentukan untuk segera pergi ke swiss ke esokan harinya untuk bertemu dan
memastikan keadaan eve. Beny bertemu eve di swiss dengan penuh sukacita,
bahkan bagaikan kehidupan baru, sebuah kehidupan yang kedua kalinya. Sebulan
kemudian setelah paman eve yang tercinta telah benar-benars embuh mereka
kembali ke Indonesia segala pertentangan yang dulu muncul luluh, dan mereka
memutuskan untuk menikah. Akhirnya sebuah keluarga bahagia dari dua keluarga
berbeda hidup dengan bahagia dikaruniani dua orang anak yang cantik.
Bahwa Tuhan Menciptakan dunia ini bukan untuk satu jenis manusia saja, sebab Tuhan
menciptakan banyak keragamannya agar manusia tak merasakan bosan dan dapat
menghargai sesamannya. Itulah Bahasa Tuhan untuk menyatakanNya. Walau kadang
perbedaan sekecil apapun jika dengan kefanatikan luar biasa akan menghancurkan hubungan
yang telah terjalin dengan baik. Cerita ini diabadikan untuk mengenang perjalanan kisah cinta
yang indah "thanks to loving me & i’m sorry if hurt you" pertemuan mungkin hal yang mudah
namun untuk melupakan adalah menyakitkan.
Kritik dan saran cerita ini silahkan http://ihkeren.com/go/?page=contact kami
akan merevisi bilamana kritikan dan saran anda baik untuk pengembangan cerita ini,
walau cerita ini hanya mengambil intisari atau benang merahnya. Dan masih banyak
cerita mendetail yang baik maupun yang buruk yang tak dapat diceritakan karna ini
adalah mini ebook, Terima kasih dan sampai jumpa Semoga Tuhan Memberkati Kita
Semua.
Properties :
Created date April 2004
Saved as Web Sytle and PDF (downloadable)
Authoring & Editoring by: Awangga Setiawan
Hak cipta dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia serta bagian dari hukum internasional
terutama pada masing-masing negara yang melindungi tentang hak cipta.
Distribution Crypticsoft Ihkeren Indomedia
Distribution date : Mei 2004
Penutup.
Dedicated to Some one special in my life
Cerita ini fiksi, sebab 99% kejadian ini tidak akan pernah dapat mirip dengan situasi
yang ada, bahkan dapat berbalik 180 derajat. Namun semoga jika benar bahwa
sebagian cerita ini benar pernah terjadi kirim komentar kamu ke ebook@ihkeren.com
dan kita bisa berbagi ceria bersama.
Jogjakarta, Mei 2004
Awangga Setiawan

Halaman

Azumamaro Igarashii~. Diberdayakan oleh Blogger.

Wikipedia

Hasil penelusuran

Translate

 
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda. Gunakan Google Chrome Atau Mozila Fire Fox Terbaru Untuk Melihat Tampilan Sempurna Blog Ini